
Oleh: Dr Hendro Setiawan
TULISAN ini semata dalam rangka menjawab permintaan sahabat terkasihku, Bpk. Ignas Waning. Peran, keberadaan, dan kontribusi lembaga intelektual Katolik ditengah situasi Gereja dan masyarakat dewasa ini, sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Rasanya tidak ada lagi pihak yang meragukan ini. Dunia intelektual adalah lahan yang perlu digarami, mengingat produk-produk intelektual kuat mempengaruhi cara hidup manusia. Nilai-nilai agama perlu dihadirkan dalam proses-proses intelektualitas. Ini tentu juga menjadi harapan atas kontribusi lembaga seperti ISKA Palembang.
Permasalahan klasik suatu organisasi, umumnya terletak pada manajemen dan kepemimpinannya. Masalah kebanyakan muncul dari dalam, bukan dari luar. Organisasi kebanyakan busuk dari dalam, bukan dari luar. Yang baik bahkan mampu bertumbuh ditengah badai tekanan luar. Karena itu perlu dibahas beberapa hal terkait:
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang baik utamanya nampak dalam komitmen menegakkan visi dan nilai-nilai organisasi. Tanpa visi, organisasi seakan berjalan tanpa arah, sesuka pemimpin, atau arahnya hanya disesuaikan kesepakatan anggota-anggotanya belaka. Padahal setiap organisasi dibetuk dengan visi tertentu yang dituangkan dalam AD/ART/Statuta, dll. Nilai-nilai organisasi Katolik mengacu pada nilai-nilai katolisitas.
Perencanaan
Perencanaan adalah sarana untuk menjabarkan visi pada tindakan konkrit sesuai dengan waktu, situasi, dll.
Organisasi
Organisasi diperlukan untuk “menggerakkan”, “memotivasi”, “mengarahkan”, dll, semua anggota dan stake holder dalam rangka mencapai apa yang direncanakannya. Ini adalah tantangan utama setiap lembaga sosial, yang tidak punya ikatan yang untuk memaksa gerak yang lain. Semua yang terlibat adalah relawan yang tidak dapat diperintah begitu saja. Dengan demikian kemampuan kepemimpinan dan organisasi untuk “merangkul”, “memotivasi”, dll, banyak anggota dan stake holder yang beragam menjadi tuntutan utama. Tujuan hanya dapat dicapai dengan talenta yang beragam. Kegagalan dari hal ini membuat organisasi hanya berjalan dengan type anggota yang “seragam” (punya pekerjaan sama, hobi sama, dll). Keseragaman membuat sulit bergerak. Padahal kekuatan organisasi sosial terletak pada keberagamannya. Efektifitas kepemimpinan terletak pada kemampuan merangkul yang lebih luas. Keberagaman yang saling melengkapi adalah motor organisasi. Sinode para Uskup 2021-2023, mengingatkan perlunya mengupayakan kemampuan “berjalan bersama” bahkan dengan “yang berbeda”. Gereja dan lembaga-lembaganya pun dituntut mampu “bergerak keluar” (Evangelii Gaudium). Yang sempit dan tertutup tidak produktif.
Kontrol/Evaluasi
Manusia tidak pernah sempurna, karena itu tidak ada organisasi yang tidak membutuhkan evaluasi/kontrol. Masalah selalu ada dalam dinamika organisasi. Evaluasi adalah daya pembaharuan atas dampak permasalahan. Kelemahan organisasi sosial keagamaan seringkali justru ada pada sisi ini. Jargon “ada yang mau menjabat saja sudah syukur”, membuat evaluasi tidak jalan. Ini membuat banyak organisasi “hidup segan, mati tak mau”. Ini kontra produktif dengan visi organisasi. Bahkan juga tidak sesuai dengan nilai-nilai agama katolik. Pekerja memang sedikit, tapi bukankan Tuhan selalu hadir? Lembaga yang lebih tinggi dan Gereja lokal, seringkali membiarkan saja situasi-situasi semacam ini. Cukup bicara yang baik dan indah, disetiap momen-momen pelantikan. Kemudian bungkam diantara momen-momen itu.
Pengambilan keputusan
Kalau evaluasi saja tidak dilakukan, darimana dapat mengambil keputusan yang penting?
Sekian, dan terimakasih.