Merosotnya Sekolah Katolik: Berkaca dari Amerika Serikat

Para siswa di St. Francis de Sales School di Las Vegas sedang berdoa | Foto: Las Vegas Diocese

Menurunnya jumlah siswa di sekolah-sekolah Katolik, baik yang dikelola lembaga pendidikan Katolik milik keuskupan, ordo/konggregasi, maupun awam Katolik, sudah menjadi perhatian dan perbincangan sejak tahun awal tahun 2000-an. Jadi masalah ini sudah berlangsung lama.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah Katolik di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1970-an penurunan jumlah siswa di sekolah Katolik telah terjadi.

Jurnalis Patrick McCloskey dalam bukunya The Street Stops Here (2008) mendokumentasikan keberhasilan para anak muda kulit hitam pinggiran di Rice High School di Harlem. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1938. Selama bertahun-tahun sekolah yang dikelola para bruder Kristen (Congregatio Fratrum Christianorum disingkat CFC) mampu mengatasi kesenjangan sosial dalam pencapaian pendidikan di mana seratus persen lulusannya diterima di perguruan tinggi. Ironisnya setelah tiga tahun buku itu diterbitkan, sekolah ditutup karena kekurangan finansial.

Secara keseluruhan, sekolah-sekolah Katolik Amerika tutup dengan cepat. Pada puncaknya pada pertengahan 1960-an, lebih dari 13.000 sekolah dasar dan menengah Katolik mendidik 12 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat. Tetapi pada tahun 2012, kurang dari 7.000 sekolah Katolik mendidik dua juta atau lima persen dari anak usia sekolah di Amerika Serikat.

Di masa depan kemungkinan akan membawa kontraksi lebih lanjut. Karena sekolah Katolik memiliki sejarah panjang melayani minoritas dan orang miskin, merosotnya sekolah Katolik mengurangi kemampuan Gereja Katolik AS berkontribusi untuk memajukan keadilan sosial dan kemungkinan akan mengurangi kesetaraan kesempatan memperoleh  pendidikan.

Permasalahan penurunan siswa di sekolah Katolik di Amerika Serikat diangkat oleh Carol Ann MacGregor, pengajar Loyola University, New Orleans, dalam disertasi doktoralnya di bidang sosiologi yang berjudul School’s Out Forever: The Decline of Catholic Education in the United States, di Princeton University tahun 2012.

MacGregor mengupas dua pengaruh sekolah Katolik pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an di mana para akademisi mendokumentasikan dan mendiskusikan pengaurh pendidikan yang diperoleh anak-anak yang bersekolah di sekolah Katolik termasuk prestasi akademik yang baik, pencapaian yang lebih baik pada tes standar, dan tingkat kelulusan yang lebih tinggi yang di perguruan tinggi.

Pertama, para akademisi berpendapat bahwa ikatan sosial yang erat antara guru dan orang tua memungkinkan sekolah Katolik mengontrol perilaku buruk dan memperkuat karakter positif dalam diri anak-anak. Namun, menurut MacGregor, bukti ini kurang konklusif karena, tidak seperti sekolah umum, sekolah Katolik dapat mengeluarkan atau menolak menerima siswa yang kurang berprestasi secara akademis atau menunjukkan masalah perilaku.

Kedua, pengaruh sekolah Katolik yang terdokumentasi ternyata paling besar terjadi di siswa perkotaan dan minoritas. Sekolah-sekolah Katolik menampung banyak anak dari kalangan minoritas dan mampu mengangkat mereka menjadi lebih berpretasi secara akedemik maupun nonakademik.

Di berbagai daerah perkotaan, populasi hispanik mengalami peningkatan. Keberadaan pendidikan Katolik dapat menjadi sangat penting karena populasi Hispanik terus meningkat. Kebanyakan orang Hispanik setidaknya secara nominal merupakan orang Katolik, dan penelitian telah mendokumentasikan bahwa anak-anak mereka sering mengalami kegagalan secara akademis, tulis MacGregor.

Apabila sekolah Katolik di Amerika Serikat memberikan pengaruh positif, terutama bagi keluarga kelas bawah, mengapa sekolah Katolik justru mengalami penurunan yang begitu tajam. MacGregor dalam disertasinya menulis lima faktor penyebabnya.

Pertama, merosotnya jumlah suster. Secara tradisional, ordo atau konggregasi biarawati menyediakan sebagian besar staf dan guru di sekolah Katolik. Pada puncaknya, sekitar tahun 1970an, lebih dari 100.000 suster bekerja di sekolah Katolik, tetapi saat ini hanya ada sekitar 6.500 yang masih bekerja, kurang dari satu suster per sekolah Katolik. Kekurangan suster di sekolah Katolik diganti tenaga awam yang membutuhkan gaji dan tunjangan bulanan. Hal ini menyebabkan biaya operasional sekolah menjadi membengkak.

Kedua, biaya pendidikan yang semakin mahal. Pada tahun 1970an hampir tiga perempat sekolah Katolik mengenakan biaya pendidikan kurang dari $100 (setara dengan kira-kira $ 300 sekarang). Pada tahun 2010 rata-rata biaya sekolah sudah mencapai sekitar $ 4,000 untuk sekolah dasar Katolik dan $ 8,000 untuk sekolah menengah Katolik. Termasuk tambahan, biaya per siswa di tingkat dasar sudah meroket dari sekitar $ 1,500 menjadi sekitar $ 5,500.

Tidak mengherankan, banyak orang tua tidak mampu membayar biaya yang semakin mahal tersebut dan lebih sedikit yang memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Katolik.

Ketiga, mengendurnya komitmen dari kalangan Gereja Katolik. MacGregor menulis bahwa pluralisme agama adalah salah satu ciri ekologi agama yang lebih luas yang mungkin memiliki konsekuensi khusus bagi kemunduran sekolah Katolik di Amerika Serikat. Dalam sejarah Amerika Serikat, pada abad ke-18, umat Katolik menghadapi prasangka yang kuat di Amerika Serikat oleh komunitas agama lain maupun komunitas-komunitas nonreligius.

Secara berlahan-lahan, prasangka itu hilang. Beberapa cendekiawan melihat bahwa, karena umat Katolik Amerika tidak lagi menghadapi prasangka yang kuat, Gereja Katolik ingin menarik diri dari pendidikan dan mengerahkan sumber daya yang terbatas untuk pengajaran Katolisisme yang ketat. Hal inilah yang menyebabkan sekolah-sekolah Katolik mengalami kemunduran.

Keempat, krisis pelecahan seksual. Meningkatnya kasus pelecehan seksual di berbagai keuskupan di Amerika Serikat menyebabkan subsidi untuk sekolah Katolik menjadi diperas. MacGregor memaparkan data yang menunjukkan bahwa keuskupan dengan jumlah insiden pelecehan yang besar memiliki lebih banyak penutupan sekolah Katolik dari tahun 2000 hingga tahun 2010.

Kelima, kurang fokus mendukung mobilitas ke atas. Pendidikan menjadi sarana mobilitas vertikal, baik dari sisi ekonomi maupun sosial-budaya. Akan tetapi hal ini kurang terjadi pada sekolah Katolik di Amerika Serikat.

Beberapa akademisi yang mengkritisi masalah ini menyarankan Gereja Katolik dapat berpaling dari memberikan dukungan kepada imigran Latino untuk asimilasi dan mobilitas ke atas kepada umat Katolik Irlandia dan Italia.

McGregor dalam disertasinya mencontohkan Gugus Tugas Notre Dame tentang Partisipasi Keluarga dan Anak-anak Latino (The Notre Dame Task Force on the Participation of Latino Children and Families in Catholic Schools) yang pada tahun 2009 menemukan bahwa keuskupan dengan jumlah kursi kelas kosong terbesar terletak di sekitar kota dengan populasi Hispanik terbesar. Selain itu, sejak tahun 1990, sekolah-sekolah Katolik telah melayani lebih sedikit siswa Afrika-Amerika dan lebih banyak lagi yang tutup di wilayah kulit hitam.

Menghadapi persoalan-persoalan di atas, MacGregor mengingatkan bahwa semua orang Amerika yang peduli dengan pendidikan harus menyadari bahwa hilangnya sekolah Katolik membuat banyak orang tua dan masyarakat memiliki lebih sedikit pilihan. Penutupan sekolah umum yang berkinerja buruk di daerah-daerah sulit terkadang menjadi peluang untuk meningkatkan prestasi akademis siswa di tempat lain.

Berbeda halnya dengan sekolah-sekolah Katolik, tulis MacGregor, mereka biasanya telah melakukan tugas yang mulia dalam upayanya meningkatkan prestasi siswa, terutama bagi kaum minoritas perkotaan, sehingga apabila sekolah-sekolah Katolik ditutup, penutupan itu akan merugikan keluarga dan lingkungan sekitar. Seringkali, sekolah umum yang berdekatan harus berjuang untuk mendidik anak-anak lainnya yang juga terpinggirkan dan juga mengalami kekurangan dana.

MacGregor mengusulkan dua hal untuk memperkuat sekolah Katolik.

Pertama, membuat sekolah Katolik lebih terjangkau. Di sini peran donatur dan para pendukung sekolah Katolik dapat bekerja untuk menciptakan model keuangan yang memungkinkan keluarga-keluarga mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Katolik bahkan jika mereka tidak mampu membayar uang sekolahnya sekalipun. MacGregor mencontohkan jaringan sekolah Cristo Rey, sekolah milik para Jesuit, yang menggunakan jaringan organisasi bisnis dan nirlaba untuk membantu menutupi biaya sekolah siswa yang kurang mampu.

Kedua, voucher umum yang digunakan untuk pendidikan. Inisiatif voucher ini memang kontroversial dan hanya diterapkan di beberapa keuskupan. Namun menurut MacGregor, penelitian tentang penggunaan voucher ini menunjukkan bahwa orang tua akan menggunakan voucher tersebut di sekolah Katolik yang relatif murah daripada membayar biaya yang lebih mahal di sekolah swasta lainnya.

Herman Endrayanto