Kemarin siang, tiba-tiba saja sebuah chat dari saudaraku Ignas Waning masuk. Ia memintaku menulis artikel untuk sebuah web, tentang pengalamanku menulis. Chat itu sejenak membuatku terperangah. Ternyata aku selama ini tidak menyadari diri sebagai seorang penulis. Aku ternyata hanya menghayati identitasku sebagai: umat Allah, suami, ayah, opa, pengusaha, rotarian (anggota rotary club), atau pegiat gereja. Tidak terlintas bahwa aku adalah penulis. Kemudian aku mencoba menarik memori yang terkait. Enam buku memang sudah kutulis, semuanya diterbitkan oleh Kanisius. Tiga buku merupakan buku filsafat, dua buku tentang gerejawi (mendapat imprimatur dan nihil obstaat), dan satu buku tentang pendidikan. Enam jurnal penelitian ilmiah telah dipublish. Dan beberapa artikel telah dimuat di surat kabar, majalah cetak, dan media online. Chat saudara Ignas membuatku mulai menelusuri sejarah penulisanku. Padahal tidak pernah bercita-cita menjadi penulis.
Keinginan untuk menulis pertama kali muncul, ketika aku sedang menyelesaikan disertasi bidang filsafat yang membahas seputar “Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow”. Penelitianku dalam disertasi itu menunjukkan bahwa selain dampak positif, ternyata ada dampak negatif serius pada konsep hirarki kebutuhan Maslow. Dampak negatif itu berupa kecenderungan untuk egois, dan menganggap pemenuhan kebutuhan yang lengkap sebagai satu-satunya jalan mencapai kebahagiaan. Kecenderungan-kecenderungan ini menyesatkan. Sejak itu aku merasa gelisah, banyak orang tidak sadar tentang dampak negatif konsep ini, termasuk aku sendiri sebelumnya. Kegelisahan itu terus muncul dan mengganggu pikiranku setiap saat. Itulah yang mendorongku menulis buku untuk memberi masukan pada masyarakat luas. Buku berjudul “Manusia Utuh” diterbitkan Kanisius tahun 2014, isinya membahas dampak-dampak konsep Maslow itu. Terbitnya buku itu, membuat kegelisahan tentang dampak negatif konsep hirarki kebutuhan lenyap. Walau aku sadar bahwa dampak buku itu terbatas, tetapi lega karena dalam keterbatasanku aku telah ambil bagian dalam mengantisipasi yang buruk.

Pengalaman aktif dalam kegiatan menggereja, memunculkan kegelisahan yang lain tentang situasi awam Katolik yang membingungkan. Untuk mengatasi kegelisahan itu, aku melakukan penelitian kepustakaan. Hasilnya, Kanisius menerbitkan “Awam Mau Kemana?” tahun 2016 lengkap dengan imprimatur dan nihil obstaat. Keprihatinan yang menggelisahkan atas berkurangnya praktik keutamaan kerendahan hati ditengah kehidupan masa ini, memicu lahirnya buku “Mungkinkah Bumi Tanpa Humus” (Kanisius, 2017). Pengalaman hidup ternyata terus menerus menyuguhkan keprihatinan dan kegelisahan baru. Perjumpaanku dengan para lansia yang bingung dan seakan kehilangan makna hidupnya, membuatku kembali melakukan studi dan menulis “Bergulat Dengan Usia”. Buku ini diterbitkan Kanisius tahun 2021. Buku “Menata Nalar Memahami Kebenaran” yang diterbitkan Kanisius tahun 2022, muncul atas kegelisahan akibat banjir informasi dunia maya masa ini. Banjir informasi dunia maya berpotensi menyesatkan orang yang belum mampu memilahnya. Kegelisahan atas fenomena gerak awam Katolik yang cenderung terkonsentrasi di seputar altar dan kurang bergerak keluar untuk menjadi “garam” dan “terang” dunia, menginisiasi terbitnya “Pergilah, Kita Diutus” (Kanisius, 2022) dengan imprimatur dan nihil obstaat. Hal yang sama juga, dengan penulisan-penulisan berupa jurnal penelitian dan artikel, setelah kurenungkan, semuanya lahir dari kegelisahan yang ada di hati. Tidak ada motivasi lain yang dominan dan mendorongku untuk menulis, selain kegelisahan. Dan kegelisahan itu lenyap setelah aku berupaya mempersembahkan tulisan yang terbatas itu.
Chat saudara Ignas membantuku memaknai semua ini. Ternyata tulisan-tulisanku lahir semata untuk menjawab kegelisahan yang muncul di dalam hati. Kegelisahan itu selalu tentang fenomena yang tidak pada tempatnya, atau butuh dibaharui. Kemudian aku berupaya menjawab kegelisahan, dengan studi tentang penyebab dan cara mengantisipasinya. Tentunya semua ini berjalan dalam keterbatasanku. Apabila kegelisahan itu berasal dari seruan Allah, yang kuyakini selalu tinggal dalam hatiku. Dan menulis adalah caraku menjawab seruanNya. Maka menulis adalah bagian dari komunikasi batinku dengan Tuhan, bagian dari doa. Terimakasih untuk saudaraku Ignas Waning yang telah membantuku memaknai hidup lebih luas.** (Dr. Hendro Setiawan, pengusaha dan penulis serta penasihat DPC ISKA Palembang)