Dunia Baru Pasca Wabah

Dunia terus berubah. Perubahan drastis dunia dipicu oleh peristiwa-peristiwa besar, yang mengubah cara pikir dan cara hidup manusia.  Pemikiran hebat Yunani Kuno runtuh ketika Kaisar Konstantinus yang Kristiani, bertahta di Roma. Sejak itu, agama Kristiani dijadikan agama negara dan sekolah kebijaksananaan Yunani ditutup. Bangkitlah arus kuat pemikiran abad pertengahan yang bercorak Kristiani. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan reformasi Protestan pada abad 15-16, meruntuhkan arus pemikiran abad pertengahan dan menggantinya dengan pemikiran modern yang mengagungkan akal budi manusia. Perang dunia II telah memicu dihapuskannya penjajahan fisik diseluruh dunia, dst.  Wajah dunia terus menerus diperbaharui oleh peristiwa-peristiwa besar.

Wabah virus Covid 19 adalah peristiwa besar yang berdampak luas. Jika sebelum ini dunia selalu diubah oleh peristiwa-peristiwa besar yang dipicu ulah manusia, kini untuk pertama kalinya, dipicu oleh  virus Covid 19. Tiba-tiba saja, mahluk amat kecil ini telah menginfeksi nyaris seluruh dunia dalam waktu singkat. Covid 19 menyebabkan pandemi global dengan skala yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.

 Masifnya penyebaran virus covid 19 secara cepat telah meruntuhkan kesombongan akal budi manusia yang telah diagungkan lima abad terakhir. Serangan wabah meruntuhkan kebanggaan atas kejayaan teknologi kesehatan, sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem-sistem lainnya. Semua yang dianggap hebat, seakan berubah rapuh dalam waktu singkat. Dunia medis seakan pasrah mengandalkan “kebaikan” Covid 19, yang hanya fatal bagi kurang dari 10 % penderita, dan sembuh sendiri bagi bagian besar lainnya. Kecanggihan teknologi penyediaan alat ventilator, obat, vaksin, perlengkapan medis, dll, tertinggal jauh dibelakang kecepatan penyebaran wabah ini. Sistem politik dan sosial kedodoran dalam antisipasi, bahkan setelah korban banyak berjatuhan. Ekonomi terpuruk masif melebihi gelombang resesi yang pernah terjadi. Ini adalah peristiwa besar yang berpotensi mengubah hidup manusia dalam skala luas. Pengharapan akhir digantungkan pada kenyataan bahwa wabah ini pasti akan berakhir, mengingat mayoritas korbannya akan sembuh sendiri dan menjadi kebal. Harapan yang tidak lagi mengandalkan kemampuan akal budi manusia.

Apa yang akan terjadi pada dunia yang telah “dipermalukan” oleh mahluk yang amat kecil ini? Tentu banyak perubahan yang dapat dibayangkan akan terjadi. Banyak aspek kehidupan akan berubah menyesuaikan diri setelah krisis ini. Dunia medis akan lebih berfokus pada pengembangan penanganan penyakit-penyakit menular. Proses vaksin akan dipercepat, dst. Dunia kerja akan melihat “work from home” sebagai alternatif yang efisien sekaligus efektif. Demikian juga dengan dunia pendidikan, dengan sistem “online”. Ekonomi dan politik akan menyesuaikan diri supaya mampu mengantisipasi wabah berikutnya. Solidaritas masyarakat dunia dibangkitkan lewat bantuan China terhadap Italy, dst. Cara hidup akan berkembang  dengan tidak lagi  berfokus mengandalkan kecepatan, tetapi lebih pada efektifitas dan efisiensi. Hidup menjadi lebih waspada, sederhana, dan cerdas. Ajaran agama dituntut makin menyatu dengan kemanusiaan, dst.

Perubahan adalah keniscayaan. Fleksibilitas adalah kunci keberhasilan dalam perziarahan hidup. Setiap peristiwa, betapapun buruknya, selalu memiliki rahmat tersembunyi (blessing in disguise). Filsuf Jerman, Karl Jaspers, mengingatkan bahwa Kemahakuasaan Allah memungkinkanNya untuk mewahyukan kehendakNya lewat segala sesuatu. Bisa saja bencana ini merupakan sinyal dariNya untuk minta kita berubah. Jasper menggunakan istilah  “chiffer” untuk sinyal dari Allah. Allah juga telah menganugerahkan akal budi dan RohNya  yang tinggal dalam hati, pada tiap manusia. Manusia perlu menggunakan anugerah-anugerah itu untuk merefleksikan setiap peristiwa, demi proses kesempurnaan hidupnya. Kata St. Agustinus:  “Crede ut intelligas, intellige ut credas” (percayalah supaya makin mengetahui, upayakanlah pengetahuan supaya makin percaya). Badai pasti berlalu, namun siapkah kita menghadapi wajah baru dunia setelah ini? Saatnya merenungkan ini, ditengah karantina diri.

(Hendro Setiawan)