Beberapa saat setelah dilantik sebagai Menteri Kabinet Kerja, Mendikbud yang baru, Nadiem Anwar Makarim, telah membuat beberapa ‘gebrakan’ kebijakan yang membuat banyak orang, terutama yang berkecimpung di dunia pendidikan terbengong-bengong. Ketika banyak orang masih terkaget-kaget dengan keuputusan Presiden Jokowi melantik orang muda ( 35 tahun ) dengan latar belakang yang sama sekali jauh dari bidang pendidikan (Kemdikbud) ternyata dijawab oleh Nadiem dengan optimisme yang tinggi. Dia menyebutnya dengan istilah Kebijakan Merdeka Belajar. Nadiem melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi sangat jauh tertinggal di banding negara lain. Sistem pendidikan di Indonesia masih sangat konvensional, kurang bahkan tidak mampu mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Dia katakan bahwa salah satu penyebabnya adalah masih kurang percayanya pemerintah kepada peran guru (dosen). Pemerintah masih terus intervensi sampai pada tataran teknis pada peran guru sebagai pengajar dan pendidik.
Awal yang baik
Dari beberapa gebrakan kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim, saya lebih menyoroti kebijakan yang terkait dengan pendidikan dasar dan menengah, yaitu “kepercayaan pada peran guru yang mulai dikembalikan”. Ini sebuah awal yang baik. Pertama adalah tentang Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP adalah dinamika yang harus disiapkan guru setiap harinya. RPP adalah napas dan jantungnya para guru. Dulu RPP harus dibuat berlembar-lembar, dan cenderung dibuat bukan karena sebuah tuntutan pendampingan anak didik melainkan lebih karena tuntutan administrasi (persiapan akrditasi sekolah). Waktu guru habis di sini. Kini RPP cukup 1 halaman. Meski tetap dengan rambu-rambu penyusunannya namun kreativitas dan inovasi guru sebagai pengajar dan pendidik lebih diutamakan. Kedua, tentang Ujian Nasional (UN). Nadiem, yang mungkin juga generasi yang pernah merasakan UN, nampaknya paham betul bahwa kebijakan UN ternyata lebih banyak dampak negatifnya dibanding dampak positipnya, terutama dikaitkan dengan peran/tugas, wewenang, dan tanggung jawab guru. Sebagai seorang yang pernah terjun langsung bertahun-tahun sebagai pendidik saya masih ingat betul beberapa dampak negatif UN, antara lain :
- Mempersiapkan / merancang pembelajaran, mengajar, mengevaluasi, dan memberikan penilaian peserta didik adalah tugas, wewenang, dan tanggung jawan guru. Ini amanat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Namun dengan UN sebagian peran guru telah diambil alih pemerintah, karena soal UN dan hasilnya (nilai siswa ) diputuskan oleh negara.
- Dengan UN, model / strategi pembelajaran yang telah dipersiapkan dalam RPP menjadi buyar “ambyar“ karena harus diganti dengan sistem drilling. Ini langkah yang “terpaksa” ditempuh kalau ingin hasil UN dengan model soal pilihan ganda ini baik. Model pembelajaran menjadi kaku, kering, gersang, dan membosankan. UN tidak bisa mencetak anak yang aktif, kreatif, inovatif tetapi mencetak anak yang “penurut”.
- Hasil UN yang diharapkan bisa menjadi bahan pemetaan kemajuan pendidikan di semua wilayah di Indonesia sangat diragukan. Mengapa ? Ini karena standar pengawasan, mulai dari distribusi soal ke daerah-daerah sampai distribusi soal ke peserta didik tidak sama. SOP-nya memang sama tetapi implementasinya sangat jauh berbeda. Jadi tidak perlu heran kalu hasil UN di sekolah pedalaman Papua atau daerah lain lebih bagus dibanding di sekolah dalam kota di Pulau Jawa.
- UN yang sempat sekian tahun menjadin penentu kelulusan telah mengabaikan peran yang sesungguhnya guru sebagai pengajar dan juga pendidik. Yang tahu persis potensi anak didik setiap harinya itu adalah guru, bukan pemerintah. Maka sangat tidak adil ketika anak didik divonis dengan UN.
- Masih banyak lagi sisi negatif UN yang dirasakan oleh para guru, siswa, bahkan orang tua yang tidak perlu saya uraikan lebih lanjut. Biarlah itu sudah berlalu (Mendikbud telah memutuskan UN 2020 adalah UN terakhir) dan anggap saja itu bagian dari sebuah proses pendewasaan kita semua, pendewasaan bangasa Indonesia.
Menyongsong Era Baru
Dengan diumumkannya oleh Mendikbud bebrapa waktu lalu, UN 2020 adalah UN terakhir menjadi angin segar bagi kita semua yang berkecimpung di dunia pendidikan terutama para guru. Namun juga sebagai tantangan yang harus dihadapi ketika kepercayaan telah dikembalikan. Para guru yang selama ini terjebak pada kegiatan administratif, ke depan banyak waktu yang bisa dikelola dengan baik dalam mendampingi anak didik. Bencana Virus Corona (Covid-19) kita ambil hikmahnya. Selain UN harus berakhir lebih cepat, guru dan siswa bekerja dan belajar di rumah, semua ditantang untuk bisa bekerja dan belajar “mandiri”. Semua akhirnya dituntut untuk kreatif, inovatif, memaksimalkan segala potensi yang dimiliki. Belajar on-line/ e-learning (daring) yang semula dianggap “tabu” kini ternyata bagian dari solusi yang harus dimaksimalkan.
Tetap semangat bapak, ibu guru, dan para siswa. Mari kita jawab kepercayaan ini, mari kita songsong Era Baru Pendidikan Indonesia.
(Agus Yuswana, Sekretaris BPH Yayasan Xaverius Palembang)