Menggeser Proses

Mey yakin seyakin-yakinnya bahwa Agus itu pintar Matematika karena Agus mempunyai kalkulator ajaib. Iya, Mei menyebutnya sebagai kalkulator ajaib karena kalkulator itu bisa diprogram dan programnya bisa membuat Agus menjadi lebih pintar. Mereka berdua memang pelajar setingkat SLTA yang selalu saling bersaing. Padahal menurut Agus, kalkulatornya itu biasa saja, bahkan dia tidak pernah melakukan pemograman yang kompleks pada kalkulatornya.

Agus yakin seyakin-yakinnya kalau Johan pintar humor dan selalu bikin orang lain tertawa itu karena orang tuanya dulunya pemain ludruk. Agus meyakini itu karena gen pelawak dari orang tuanya pasti banyak turun ke tubuh Agus, sehingga Agus sangat mudah melucu.

Johan yakin seyakin-yakinnya kalau Mey itu punya banyak teman dan pintar membujuk karena ibunya seorang Sosialita. Johan meyakini itu karena Mey selalu melihat ibunya bergaul, berbicara, bertutur sapa dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan sosial.

Pernah beranggapan kira-kira seperti itu ?

Banyak orang tua yang memberikan anaknya kursus Sempoa Jaritmatika dan Kumon tapi anaknya sendiri tidak suka matematika dan lebih suka main musik. Atau memberikan kursus piano tetapi anaknya sendiri lebih suka main bulutangkis. Atau selalu meminta anaknya belajar di kamar tetapi anaknya malah belajar melalui YouTube. Menambahkan anaknya dengan les pelajaran di sekolah, tetapi anaknya lebih suka bermain-main sama teman-temannya di halaman sekolah tersebut.

Bisa dikatakan bahwa Agus pintar matematika karena memang Agus menyukai Matematika, walaupun dia tidak mempunyai kalkulator ajaib tersebut. Dan karena dia menyukai matematika maka dia akan senang mengerjakan soal-soal Matematika di buku pelajaran dan selalu mencari tantangan untuk soal-soal yang lebih sulit lagi.
Bukan karena orang tuanya mantan pemain ludruk sehingga Johan itu pintar melucu dan selalu membuat orang lain tertawa karena humornya, tetapi karena memang Johan selalu mencari ide-ide humor baru, berlatih berbicara di depan kaca atau pun berlatih memimpin sebuah acara dan menyelipkan humor. Johan juga tidak cepat putus asa jika humornya tidak dimengerti oleh orang lain atau pun terasa garing.
Bagaimana dengan Mey. Mey mempunyai banyak teman, pintar meyakinkan dan membujuk orang lain itu bukan karena ibunya seorang Sosialita, tetapi karena Mey mencontoh perilaku ibunya dan selalu mempraktekkannya dengan target teman-temannya sendiri. Mey selalu berlatih kesabaran mendengar cerita apa saja dari teman-temannya, Mey juga berlatih menggunakan kata-kata positif yang bisa memberikan dorongan motivasi dan akhirnya mampu mengubah pendirian teman-temannya tersebut.

Jadi tidak ada proses yang berhasil baik jika memang tidak ada gairah (passion) yang menyertainya. Bukan gairah yang ingin saya bicarakan di sini tetapi saya ingin bicara tentang prosesnya. Agus menjadi pintar Matematika karena dia mengikuti prosesnya dengan baik, yakni selalu berlatih soal-soal di buku pelajaran atau dari sumber literatur lainnya. Johan pun mengikuti proses dengan selalu melatih dirinya setelah mendapatkan ide-ide entah dari mana. Begitu pula Mey juga mengikuti prosesnya dengan cara mencontoh ibunya, melatih mendengar dengan sabar saat temannya bicara dan berlatih berbicara dengan kalimat yang positif dan persuasuf.

Eliud Kipchoge

Jika sebuah proses itu dilakukan dengan baik, apalagi didukung dengan gairah yang meluap-luap dan infrastruktur yang baik, maka proses itu menghasilkan buah yang manis bagi yang melakukannya. Kita ambil contoh Eliud Kipchoge sebagai pemegang rekor dunia untuk Marathon yang berasal dari Kenya. Kenya bukan negara maju tetapi proses yang dilakukan oleh Eliud Kipchoge dalam mencapai rekor dunia itu tidaklah mudah. Dia ini latihan lari yang dilakukan di ketinggian sejauh 170 km per minggu, lari dengan target waktu sejauh 30-40 km (pace 3:20 min/km), dan masih menjalani latihan tipe 5K/10K untuk menjaga kecepatan. Atau lihat negara China sebagai pemegang medali emas terbanyak di Olimpiade, bagaimana mereka mempersiapkan atlit mereka sejak calon atlit itu masih muda belia, ditempa latihan keras setiap hari dan selalu ditantang untuk melakukan yang lebih baik.

Mozart kecil

Kita lihat lagi Wolfgang Amadeus Mozart, Mozart ini sudah pintar bermain piano pada umur 6 tahun, dan itu ditunjukkan dengan diundangnya Mozart pada seni pertunjukkan kelas atas di Austria pada abad ke 18. Tetapi sebelumnya menjadi pintar tersebut, Mozart dilatih bapaknya sejak umur 3 tahun dengan cara berlatih piano selama 3-4 jam setiap harinya.
Bandingkan juga dengan Einsten yang mulanya diramalkan sebagai anak yang bodoh dan tidak akan berhasil karena baru bisa bicara di usia 4 tahun dan pada umur 7 tahun baru bisa membaca, atau bandingkan dengan Charles Darwin yang diejek orang tuanya sebagai dokter yang hanya bisa menyuntik anjing, atau juga bandingkan dengan Michael Jordan, legenda Basket dunia, pernah dikeluarkan dari tim basket SMU-nya, dan yang terakhir bandingkan dengan Beethoven yang diejek karena penampilan buruknya saat bermain biola. Mereka semua berhasil mengubah kegagalan menjadi prestasi dunia dengan cara melakukan proses latihan yang terus menerus tanpa henti.

Artinya jika ingin berhasil, kita tidak hanya mengandalkan Passion saja, tetapi juga proses yang terus menerus tanpa henti. Sampai di sini mungkin kita semua setuju.

Namun untuk hal-hal tertentu yang krusial kita harus menggeser sebuah proses agar jalan menuju keberhasilan tetap pada jalurnya. Misalnya saat wabah Corona ini, murid-murid sekolah diminta belajar dari rumah dan orang tua diminta bekerja juga dari rumah. Maka kita harus mengubah proses belajar anak-anak dan mengubah proses bekerja dari orang tua. Kita bisa memakai teknologi untuk membantu menggeser proses tersebut.
Pertama, guru-guru harus kreatif mencari atau membuat isi pembelajaran yang lebih menarik dan menyajikannya secara online, dan kedua, anak-anak juga harus membiasanya belajar dari sebuah layar kecil, baik di smartphone atau pun komputer.
Begitu juga orang tua saat bekerja dari rumah, harus bisa bekerja dengan situasi rumah sendiri, berkolaborasi memakai video call dan berdiskusi melalui sosial media. Melakukan sharing pekerjaan berbasis internet dan memberikan informasi secara real time dengan hanya berbasis angka dan data yang tertulis di smartphone atau layar komputer.

Karena tidak bisa berkunjung ke rumah Klien, maka para sales harus bisa memberikan informasi melalui sosial media dengan menyajikan infografis yang bagus, informatif dan enak dipandang. Jika perlu perusahaan di tempat sales tersebut membuat website atau aplikasi yang bisa memberikan informasi sejelas-jelasnya agar para klien atau nasabah atau pengguna cukup jelas dan tidak perlu lagi datang ke kantor perusahaan tersebut. Begitu pula Universitas dan dosen, bisa menyajikan cara berinteraksi realtime dan atraktif terhadap mahasiswanya di rumah mereka masing-masing. Atau Rumah Sakit yang menyediakan pemeriksaan secara online dan realtime berbasis aplikasi, sehingga untuk pemeriksaan awal, para calon pasien tidak perlu datang dulu ke Rumah sakit.

Namun untuk bisa melakukan hal tersebut, harus ada proses yang perlu dilalui sejak lama, misalnya seorang guru atau dosen harus menguasai bidang keilmuannya, sales harus menguasai bidang atau topik yang akan dijualnya, dokter harus paham gejala-gejala awal sebuah penyakit dan yang terakhir para orang tua harus menguasai bidang pekerjaan, sehingga dengan bantuan teknologi sekarang, semua perkejaan tersebut tetap berjalan dengan baik walau pun pertemuan fisik dikurangi atau ditiadakan.

Kata ahli manajeman, proses tidak pernah mengingkari hasilnya.

(Yoseph Handoko)