Bagaimana Konflik Ukraina Membentuk Kembali Hubungan Antar Gereja

Mungkinkah Katedral St. Sophia di ibukota Ukraina, Kyiv, menjadi target militer Rusia? Desas-desus tentang kemungkinan serangan terhadap katedral yang berdiri pada abad ke-11, yang telah lama diubah menjadi museum, telah memperdalam keputusasaan penduduk Ukraina yang sudah sangat menderita.

Namun serangan yang diantisipasi telah memperjelas apa yang dikatakan Uskup Agung Sviatoslav Shevchuk, pemimpin Gereja Katolik Yunani Ukraina, kepada wartawan pada 8 Februari 2022, dua minggu sebelum invasi Rusia: bahwa “di Ukraina, tidak ada perang agama.”

Katedral St. Sophia jarang digunakan untuk acara-acara liturgia. Tetapi katedral tersebut dianggap sebagai rumah oleh orang Katolik Ortodoks dan Katolik Roma di Ukraina. Katedral tersebut dibangun pada masa Yaroslav I (980-1054) menjadi penguasa otoritas Kyiv.

Katedral St. Sophia memiliki makna simbolis bagi penduduk Kyiv, yang percaya bahwa kota itu akan tetap berdiri sepanjang katedral itu juga berdiri.

Bangunan itu memiliki sejarah yang bergejolak. Katedral tersebut menjadi milik Gereja Katolik Yunani Ukraina setelah Persatuan Brest pada tahun 1595, kemudian diklaim oleh Metropolitan Ortodoks Petro Mohyla pada tahun 1633. Asal tahu saja, Persatuan Brest merupakan perjanjian pada tahun 1596 yang menyatukan jutaan orang Katolik Ortodoks Ukraina dan Belarusia dengan Gereja Katolik Roma yang hidup di bawah kekuasaan Polandia di Lituania.

Katedral St. Sophia di Kyiv Ibukota Ukraina | Ivan Sedlovskyi via Wikimedia

Setelah revolusi tahun 1917, Uni Soviet berniat menghancurkan katedral, tetapi niat itu digagalkan oleh para ilmuwan dan sejarahwan. Pada tahun 1934, pemerintah Uni Soviet menyitanya dan mengubahnya mennjadi museum.

Setelah kemerdekaan Ukraina pada tahun 1991, Katedral St. Sophia diklaim baik oleh Gereja Ortodoks di Ukraina dan Gereja Katolik Yunani Ukraina. Di sanalah Metropolitan Epiphanius, pemimpin Gereja Ortodoks Ukraina yang baru dilantik, merayakan awal pelayanannya pada 3 Februari 2019.

Ukraina telah lama menjadi medan konflik ekumenis. Dari seluruh populasi Ukraina, pemeluk Gereja Ortodoks mencapai 44 juta orang. Umat Katolik menjadi minoritas di Ukraina.

Gereja Ortodoks terdiri dari berbagai bangsa yang terkait dengan wilayah tersebut, semuanya setara dalam martabat. Tetapi Patriarkat Konstantinopel menjalankan semacam “keutamaan”, yang bersumber dari peran utamanya dalam suksesi Gereja-Gereja Ortodoks, untuk menindaklanjuti permintaan dari pemerintah Ukraina akan hadirnya sebuah Gereja nasional yang diakui. Proposal itu dibuat oleh Petro Poroshenko, presiden Ukraina (2014-2019).

Pada 2019, Bartholomew I, Patriark Ekumenis Konstantinopel, memberikan otosefali (otoritas otonom) kepada Gereja Ortodoks Ukraina (Orthodox Church of Ukraine, OCU), mencabut dekrit patriarkat yang sama yang menetapkan wilayah Ukraina masuk ke wilayah Patriarkat Moskow.

Bagi Patriarkat Moskow, keputusan tersebut sama saja dengan tindakan memicu konflik, yang menyebabkan putusnya hubungan dengan Konstantinopel. Patriarkat juga menarik diri dari meja ekumenis yang diketuai bersama oleh Konstantinopel, dengan mengatakan bahwa keputusan itu, dalam praktiknya, merupakan invasi wilayah kanonik.

Tetapi selain Patriarkat Moskow, ada dua realitas Ortodoks lainnya di Ukraina: Gereja Ortodoks Rusia-Patriarkat Kyiv, yang kemudian bergabung dengan OCU, dan Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Moskow , yang, terlepas dari namanya, adalah independen dari Patriarkat Moskow, meskipun terasa sepenuhnya seperti Gereja Rusia.

Oleh karena itu, Gereja Ortodoks di Ukraina sangat kompleks dan ketegangan terus berlangsung.

Gereja Katolik Yunani Ukraina, di sisi lain, harus dibangun kembali setelah praktis diberantas dengan apa yang disebut sinode semu Lviv pada tahun 1946. Sinode tersebut diatur oleh otoritas sekuler. Terlebih lagi hampir setahun sebelum penyelenggaran pertemuan tersebut, pada malam 11-12 April 1945, Uskup Metropolitan Josyf Slipy, ditangkap.

Sementara umat Katolik Yunani Ukraina yang diaspora tetap mempertahankan identitasnya, mendirikan Gereja yang universal, dan berhasil bangkit setelah runtuhnya komunisme.

Gereja Katolik Yunani Ukraina adalah Gereja sui iuris terbesar yang terjalin dengan Gereja Katolik Roma. Gereja ini memiliki uskup agung, yang setara dengan “paus” bagi umatnya, dan ini adalah Gereja yang b global, dengan kehadirannya dan hierarki di empat benua.

Paus Fransiskus sering berbicara tentang “ekumenisme darah.” Istilah tersebut disampaikan oleh Paus Fransiskus di Bulgaria pada 5 Mei 2019, di mana Paus Fransiskus mengatakan bahwa umat Katolik dan Ortodoks dipersatukan oleh darah para martir dan orang-orang Kristen yang terus menderita demi iman bahkan sampai hari ini. Dalam kasus Ukraina, ada “ekumenisme rumah sakit lapangan”, yang diekspresikan dalam Dewan Gereja dan Organisasi Keagamaan Ukraina (Ukrainian Council of Churches and Religious Organizations, UCCRO).

Lahir pada tahun 1996, dewan tersebut mewakili 95% komunitas agama di Ukraina dan memainkan peran penting setelah “Revolusi Martabat” Ukraina pada tahun 2014 tetap dekat dengan orang-orang dan senantiasa membangun saluran dialog antar agama ketika denominasi Kristen terpecah.

Untuk alasan ini, Uskup Shevchuk sangat menekankan: “Tidak ada perang antar agama di Ukraina. Bahkan Gereja Ortodoks tidak setuju terhadap anggapan tentang perang agama. Sebaliknya, agama-agama di Ukraina berkolaborasi dan melakukan segala yang mungkin untuk menjamin perdamaian agama, serta membantu penduduk.”

Uskup Agung Shevchuk menjelaskan tentang komitmennya  terhadap empat pilar yaitu “doa, solidaritas, pewartaan harapan, dan bekerja untuk konsolidasi rakyat.”

Kesatuan Gereja dalam membela bangsa terlihat dari sebuah peristiwa pada 24 Februari 2022, hari pertama invasi. Metropolitan Onufriy, kepala Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Moskow merilis pernyataan mengejutkan, di mana dia mengatakan: “Mempertahankan kedaulatan dan integritas Ukraina, kami memohon kepada Presiden Rusia dan meminta Anda untuk segera menghentikan perang saudara.”

“Orang-orang Ukraina dan Rusia keluar dari kolam pembaptisan Dnieper, dan perang antara orang-orang ini adalah pengulangan dosa Kain, yang membunuh saudaranya sendiri karena iri. Perang seperti itu tidak memiliki pembenaran bagi Tuhan atau manusia.”

Pada 28 Februari 2022, sinode dari Gereja yang sama menyampaikan seruan berikut kepada Patriark Moskow Kirill: “Yang Mulia! Kami meminta Anda untuk mengintensifkan doa Anda untuk orang-orang Ukraina yang telah lama menderita, untuk mengucapkan kata-kata sebagai  pimpinan hirarki tentang penghentian pertumpahan darah di tanah Ukraina, dan untuk menyerukan kepada pimpinan Federasi Rusia untuk segera menghentikan permusuhan yang sudah mengancam untuk berubah menjadi Perang Dunia.”

Pada tanggal 2 Maret 2022, klerus dari keuskupan Ivano-Frankivsk mengumumkan bahwa mereka akan berhenti memperingati Patriark Kirill selama perayaan Liturgi. Tindakan tersebut menandakan bahwa otoritas Patriark Kirill tidak lagi diakui.

Patriark Moskow harus membayar mahal dengan sikapnya karena tidak secara jelas mengutuk invasi Rusia.

Dalam sebuah pernyataan pada 24 Februari 2022, hari pertama serangan itu, Patriark Kirill menekankan bahwa dia adalah “Patriark seluruh Rusia dan primat Gereja yang kawanannya berlokasi di Rusia, Ukraina, dan negara-negara lain” dan menyerukan “pada semua pihak dalam konflik untuk melakukan segala kemungkinan untuk menghindari korban sipil.”

Dia mengulangi bahwa “orang-orang Rusia dan Ukraina memiliki sejarah yang sama selama berabad-abad yang berasal dari Pembaptisan Rus oleh  St. Vladimir.”

“Saya percaya bahwa kedekatan yang diberikan Tuhan ini akan membantu mengatasi perpecahan dan ketidaksepakatan yang muncul yang menyebabkan konflik saat ini,” katanya.

Pernyataan itu tidak termasuk kecaman atas agresi Rusia tetapi tampaknya menegaskan kembali keyakinan bahwa Ukraina adalah wilayah kanonik Rusia.

Posisi Patriak Kirill menyebabkan posisinya terisolir dalam lingkup Gereja Ortodoks. Gereja Ortodoks Serbia, yang secara tradisional adalah sahabat Moskow, mengatakan pada 28 Februari 2022 bahwa mereka mengirim bantuan ke Gereja yang dipimpin oleh Metropolitan Onufriy. Sikap yang bermakna ini memang tidak memutus jembatan persahabatan tradisional, tetapi tetap mencolok.

Sementara itu Patriark Daniel dari Rumania secara tegas mendefinisikan konflik di Ukraina sebagai “perang yang diluncurkan oleh Rusia melawan negara yang berdaulat dan merdeka.”

Patriark Ilia dari Georgia menulis pada 24 Februari 2022: “Berdasarkan pengalaman pahit Georgia, kami tahu betapa pentingnya integritas teritorial negara itu. Itulah sebabnya kami menyaksikan situasi tegang di Ukraina dengan kesedihan. Kami mencatat bahwa peristiwa kemarin dan hari ini sudah dalam bahaya pertumpahan darah yang serius, meskipun kemungkinan untuk mengatur situasi masih ada. Ini juga merupakan kesempatan untuk menjaga perdamaian universal.”

Para uskup Gereja Ortodoks Finlandia mengecam keras invasi Rusia. Mereka berkata: “Tidak ada pembenaran untuk perang. Rakyat Ukraina harus didukung dengan segala cara: baik secara finansial dan secara spiritual melalui doa.” Mereka juga mengimbau “kepada para uskup dan imam Patriarkat Moskow untuk mempromosikan perdamaian.”

Uskup Agung Ieronymos dari Athena mengungkapkan keterkejutannya, dengan mengatakan bahwa “pikiran dan doanya ditujukan kepada saudara-saudara kita di Ukraina, terutama kepada anak-anak dan orang tua yang mengalami kengerian perang, dan tentu saja kepada ribuan saudara senegara kita di negara ini.”

Namun, reaksi yang paling mengejutkan datang dari Rusia: 233 imam dan diakon Gereja Ortodoks Rusia mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “perang saudara” dan meminta gencatan senjata segera.

Mereka mengajukan permohonan setelah Minggu Penghakiman Terakhir dan dalam seminggu sebelum Minggu Pengampunan, dua hari Minggu sebelum Prapaskah dalam kalender liturgi Gereja Timur.

Mereka mengatakan mereka berharap bahwa “semua orang, baik Rusia dan Ukraina, akan kembali tanpa terluka ke keluarga mereka.” Mengingat “Minggu Pengampunan”, mereka menekankan bahwa “pintu surga akan terbuka bagi semua orang, juga bagi mereka yang telah melakukan dosa berat,” tetapi “tidak ada alternatif selain rekonsiliasi timbal balik.”

Di antara yang pertama mengutuk serangan itu adalah Bartholomew I dari Konstantinopel. Dengan memberikan otosefali Patriark Ekumenis telah mengakui Ukraina sebagai negara dengan haknya sendiri, tindakan yang dihargai oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Pada Agustus 2021, Patriark Bartholomew I menjadi tamu istimewa pada seremoni 30 tahun kemerdekaan Ukraina.

Tidak mengherankan, Zelensky menelepon Patriark Bartholomew untuk berterima kasih atas kata-katanya. “Warga Ukraina merasakan dukungan spiritual dan kekuatan doa Anda,” cuit presiden di akun Twitter-nya, “Kami berharap perdamaian secepat mungkin.”

Oleh karena itu, tampaknya terjadi pergeseran di lingkup Gereja Ortodoks menuju Kyiv dan menjauh dari Moskow. Ketegangan yang terjadi sebelumnya dicairkan oleh keinginan bersama dari suatu bangsa dan oleh gagasan untuk berbagi nasib yang sama. Bagaimanapun juga, Gereja Ortodoks berada di balik negara Tirai Besi: mereka yang telah menderita penganiayaan agama dan tidak ingin kembali ke pengalaman itu. Mereka telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan karena itu tidak dapat menerima bahwa hal itu dipertanyakan.

Gereja Katolik Yunani Ukraina tetap aktif di balik layar. Mereka merayakan dengan Ritus Bizantium dan mengakui Patriarkat Konstantinopel sebagai Gereja Induknya, tetapi bersatu dengan Roma dan setia kepada paus. Peristiwa “Revolusi Martabat” telah menjadi jembatan antara pengakuan Kristen. Tapi itu juga merupakan penjaga identitas Ukraina, yang tetap hidup bahkan dalam situasi diaspora.

Perlu kita ketahui bahwa  Presiden Zelensky, pada 8 Februari 2020, saat mengunjungi Paus Fransiskus, dia mengajukan dua hal: permintaan kepada Takhta Suci untuk menengahi perdamaian di Ukraina dan pertanyaan tentang beatifikasi Metropolitan Andrey Sheptytsky (1865-1944), orang yang pertama mengembangkan gagasan Gereja Katolik Yunani Ukraina global, yang lepas pada batas negara.

Sebelumnya, pada tahun 2015, Paus Fransiskus mengakui “kebajikan heroik” uskup metropolitan tersebut, sebuah langkah signifikan menuju beatifikasi. Gereja Katolik Yunani mengakui kesucian mendiang uskup tersebut. Presiden Zelensky sendiri menggarisbawahi pentingnya beatifikasi dalam suatu percakapan via telepon dengan Paus Fransiskus pada 30 Juni 2021. Ia juga menegaskan kembali undangan kepada Paus Fransisku untuk mengunjungi Ukraina.

Komunitas agama, pada akhirnya, sangat penting di Ukraina. Untuk alasan ini, gagasan bahwa Katedral St. Sophia dapat menjadi sasaran serangan militer telah menyatukan kembali jiwa Kristen di negara itu.

Sementara itu, Gereja Ortodoks tampaknya semakin mengisolasi Patriarkat Moskow. Ada risiko bahwa perpecahan Gereja Ortodoks tidak lagi hanya menyangkut pemberian otosefali kepada Gereja lokal. Sebaliknya, perpecahan baru bisa muncul karena masalah politik. Dan siapa pun yang menempatkan pilihan politik di depan mereka akan menghadapi risiko isolasi itu.

Herman Endrayanto (Sumber: Andrea Gagliarducci, Catholic News Agency)