ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) DPC Kota Palembang bertujuan mengoptimalkan peran sarjana/cendekiawan Katolik meningkatkan iman & ilmu pengetahuan secara berkesinambungan demi kebaikan sesama manusia dalam pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa, negara, & gereja.
ISKA DPC Palembang berupaya membagi sedikit pemikiran & pesan berupa artikel ringan penyemangat untuk membalik pola pikir warga agar tetap optimis di saat krisis wabah virus Corona (Covid-19) sehinga secara alami imun tubuhnya akan keluar. Sekarang waktunya kita melawan Covid-19 dengan berpikir positif & merasakan emosi positif, menggerakkan vibrasi positif untuk diri sendiri & lingkungan, menyebar informasi yang sifatnya meneduhkan.
Informasi yang menenangkan berguna untuk kebaikan diri sendiri dan bersama, serta menjadi upaya yang bisa kita berikan sebagai bentuk nyata kecintaan & perjuangan kita untuk NKRI. Apapun yang kita ucapkan dapat berdampak baik pada kemajuan atau sebaliknya kehancuran orang lain. Informasi yang justru semakin menguatkan berbagai emosi negatif, seperti: takut, khawatir, cemas, merasa tidak berdaya, dll. justru akan melahirkan Coronaphobia & psikosomatis Covid-19.
Oleh sebab itu harus dilawan dengan pesan penyemangat ke warga yang membalik pola pikir/ mental & optimis. Mulai hari ini dengan mengucapkan kata-kata positif & membangun. Hati & pikiran yang kita miliki adalah kunci kita mau sehat atau kita mau sakit.
Patuhi himbauan pemerintah untuk social/physical distancing, ikuti protokol penanganan Covid-19, stay at home (bekerja, sekolah, kuliah, beribadah dari rumah), & enjoylife (sosmed distancing yang pesimis
& negatif).
Akhirnya, selamat melayani & jadi berkat di saat krisis Covid-19. Berkat Tuhan & salam untuk keluarga yang kita sayangi.
Dr.Heri Setiawan, ST.,MT Ketua ISKA DPC Kota Palembang Periode 2019-2023
Dunia terus berubah.
Perubahan drastis dunia dipicu oleh peristiwa-peristiwa besar, yang mengubah
cara pikir dan cara hidup manusia.
Pemikiran hebat Yunani Kuno runtuh ketika Kaisar Konstantinus yang
Kristiani, bertahta di Roma. Sejak itu, agama Kristiani dijadikan agama negara
dan sekolah kebijaksananaan Yunani ditutup. Bangkitlah arus kuat pemikiran abad
pertengahan yang bercorak Kristiani. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan reformasi
Protestan pada abad 15-16, meruntuhkan arus pemikiran abad pertengahan dan
menggantinya dengan pemikiran modern yang mengagungkan akal budi manusia. Perang
dunia II telah memicu dihapuskannya penjajahan fisik diseluruh dunia, dst. Wajah dunia terus menerus diperbaharui oleh
peristiwa-peristiwa besar.
Wabah
virus Covid 19 adalah peristiwa besar yang berdampak luas. Jika sebelum ini dunia
selalu diubah oleh peristiwa-peristiwa besar yang dipicu ulah manusia, kini untuk
pertama kalinya, dipicu oleh virus Covid
19. Tiba-tiba saja, mahluk amat kecil ini telah menginfeksi nyaris seluruh
dunia dalam waktu singkat. Covid 19 menyebabkan pandemi global dengan skala
yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.
Masifnya penyebaran virus covid 19 secara
cepat telah meruntuhkan kesombongan akal budi manusia yang telah diagungkan
lima abad terakhir. Serangan wabah meruntuhkan kebanggaan atas kejayaan
teknologi kesehatan, sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem-sistem lainnya.
Semua yang dianggap hebat, seakan berubah rapuh dalam waktu singkat. Dunia
medis seakan pasrah mengandalkan “kebaikan” Covid 19, yang hanya fatal bagi
kurang dari 10 % penderita, dan sembuh sendiri bagi bagian besar lainnya. Kecanggihan
teknologi penyediaan alat ventilator, obat, vaksin, perlengkapan medis, dll,
tertinggal jauh dibelakang kecepatan penyebaran wabah ini. Sistem politik dan
sosial kedodoran dalam antisipasi, bahkan setelah korban banyak berjatuhan.
Ekonomi terpuruk masif melebihi gelombang resesi yang pernah terjadi. Ini
adalah peristiwa besar yang berpotensi mengubah hidup manusia dalam skala luas.
Pengharapan akhir digantungkan pada kenyataan bahwa wabah ini pasti akan
berakhir, mengingat mayoritas korbannya akan sembuh sendiri dan menjadi kebal. Harapan
yang tidak lagi mengandalkan kemampuan akal budi manusia.
Apa
yang akan terjadi pada dunia yang telah “dipermalukan” oleh mahluk yang amat
kecil ini? Tentu banyak perubahan yang dapat dibayangkan akan terjadi. Banyak
aspek kehidupan akan berubah menyesuaikan diri setelah krisis ini. Dunia medis
akan lebih berfokus pada pengembangan penanganan penyakit-penyakit menular.
Proses vaksin akan dipercepat, dst. Dunia kerja akan melihat “work from home” sebagai alternatif yang
efisien sekaligus efektif. Demikian juga dengan dunia pendidikan, dengan sistem
“online”. Ekonomi dan politik akan
menyesuaikan diri supaya mampu mengantisipasi wabah berikutnya. Solidaritas
masyarakat dunia dibangkitkan lewat bantuan China terhadap Italy, dst. Cara
hidup akan berkembang dengan tidak
lagi berfokus mengandalkan kecepatan,
tetapi lebih pada efektifitas dan efisiensi. Hidup menjadi lebih waspada,
sederhana, dan cerdas. Ajaran agama dituntut makin menyatu dengan kemanusiaan,
dst.
Perubahan adalah keniscayaan. Fleksibilitas adalah kunci keberhasilan dalam perziarahan hidup. Setiap peristiwa, betapapun buruknya, selalu memiliki rahmat tersembunyi (blessing in disguise). Filsuf Jerman, Karl Jaspers, mengingatkan bahwa Kemahakuasaan Allah memungkinkanNya untuk mewahyukan kehendakNya lewat segala sesuatu. Bisa saja bencana ini merupakan sinyal dariNya untuk minta kita berubah. Jasper menggunakan istilah “chiffer” untuk sinyal dari Allah. Allah juga telah menganugerahkan akal budi dan RohNya yang tinggal dalam hati, pada tiap manusia. Manusia perlu menggunakan anugerah-anugerah itu untuk merefleksikan setiap peristiwa, demi proses kesempurnaan hidupnya. Kata St. Agustinus: “Crede ut intelligas, intellige ut credas” (percayalah supaya makin mengetahui, upayakanlah pengetahuan supaya makin percaya). Badai pasti berlalu, namun siapkah kita menghadapi wajah baru dunia setelah ini? Saatnya merenungkan ini, ditengah karantina diri.
Akademi Sains Kepausan menyelenggarakan konferensi dua hari yang membahas ketidaksetaraan global dalam riset dan pencegahan kanker. Pertemuan tersebut dihadiri lebih dari 40 peneliti dan dokter kanker terkemuka dunia.
Mereka berkumpul di Casina Pio IV, Vatikan dalam suatu konferensi yang berjudul “Strategi Mengurangi Ketidaksetaraan dalam Perawatan dan Pencegahan Kanker”.
Acara tersebut merupakan konferensi akademik global pertama yang diselenggarakan oleh Akademi Sains Kepausan bekerja sama dengan European Academy of Cancer Sciences dan didukung Kedutaan Besar Swedia untuk Tahta Suci.
Menurut Prof. Joachim Von Braun, presiden Akademi Sains Kepausan, konferensi tersebut terinspirasi dari pesan Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-30 yang dirayakan pada tahun 2022, di mana Paus Fransiskus menyampaikan pesan: “Mari kita berterima kasih kepada Tuhan atas kemajuan Ilmu Kedokteran yang telah dicapai dewasa ini.”
Prof. Von Braun mencatat bahwa kemajuan besar telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir dalam penelitian dan terapi kanker. Namun, tambahnya, manfaat sains yang lebih baik tidak terdistribusi secara merata di seluruh negara, bahkan di dalam negara sendiri.
Oleh karena itu, ketidaksetaraan dapat menyebabkan masalah nyata mendiagnosis dan mengobati kanker, karena kemajuan ilmiah gagal menyaring negara-negara berpenghasilan miskin dan menengah, dan kadang-kadang bahkan keluar dari kota-kota besar dan pusat-pusat perawatan di negara kaya.
“Jika pasien tidak memiliki akses ke penelitian yang lebih baik, maka itu menimbulkan masalah bagi orang dan masyarakat, karena mereka yang paling parah terkena dampaknya tinggal di negara berkembang,” kata Prof. Michael Baumann, CEO Pusat Penelitian Kanker Jerman.
“Hasil dari kanker, termasuk deteksi dini dan bertahan hidup, sangat bervariasi, terutama antar negara yang berbeda dan bahkan di dalam negara,” imbuh Prof. Baumann.
Menyeimbangkan Keadilan dan Hak Kekayaan Intelektual
Konferensi tersebut berusaha untuk mengambil langkah pertama untuk mengatasi distribusi kemajuan ilmiah yang tidak merata dengan mempromosikan transfer data dan keahlian ke negara berpenghasilan rendah dan menengah dan dengan memberi saran kepada pemerintah mengenai kebijakan perawatan kesehatan.
“Jika sumber daya kita terdistribusi dengan baik, maka kita dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anak-anak yang membutuhkan vaksin serta penderita kanker,” kata Prof. Chandy. “Dekade terakhir telah melihat kemajuan besar dalam terapi kanker, dan membuat diagnosis yang tepat waktu dan tepat sangat penting dalam pengobatan kanker.”
Padahal, tambah Prof. Chandy, pemerintah harus mempertimbangkan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan keadilan bagi orang-orang di negara lain yang telah didiagnosis menderita kanker.
Kanker Bukan Lagi Hukuman Mati
Salah satu metode yang terbukti memberikan pengobatan yang lebih baik dan riset yang lebih efektif adalah dengan menciptakan “Pusat Kanker Komprehensif”, di mana riset digabungkan dengan pengobatan, pendidikan, dan keterjangkauannya.
Pasien yang dirawat di fasilitas ini 10-15 persen lebih mungkin bertahan dari kanker, kata Prof. Baumann. Namun, distribusi geografis pusat-pusat kanker sangat bervariasi antar negara; beberapa daerah memiliki banyak fasilitas semacam itu, tetapi sebaliknya tempat-tempat lain tidak memilikinya sama sekali.
Prof. Douglas Lowy, direktur interim Institut Kanker Nasional AS, menyoroti statistik yang menjanjikan dalam terapi kanker. Tingkat kelangsungan hidup kanker selama lima tahun telah meningkat dari sekitar 50 persen pada pertengahan 1970-an menjadi sekitar 68 persen saat ini.
Namun, Prof. Lowy menambahkan, “kanker itu mengerikan!” Terlalu banyak orang meninggal karena kanker setiap tahun, sekitar 600.000 di Amerika Serikat, dan proyeksi global meramalkan bahwa sebagian besar diagnosis kanker akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam satu dekade.
“Ketimpangan dan kurangnya akses ke layanan kesehatan merupakan masalah penting di Amerika Serikat dan secara global, serta berdampak negatif besar pada perkembangan kanker dan kematian,” kata Prof. Lowy.
Dibangun di Atas Sejarah Gereja yang Membantu Orang
Konferensi tersebut juga berupaya menciptakan jaringan di antara para peneliti kanker dan mencari cara untuk menyebarluaskan kemajuan ilmiah secara lebih adil.
Pendidikan dan pelatihan ilmuwan dan dokter muda dapat memainkan peran penting dalam menyebarkan kemajuan ke negara-negara berkembang, misalnya, kerjasama antar lembaga.
Ditanya tentang alasan diadakannya konferensi di Vatikan, Prof. Lowy menyoroti sifat pribadi kanker: “Kanker adalah saudara laki-laki, perempuan, ibu, ayah, atau anak seseorang, bukan hanya angka.”
“Dalam konteks yang lebih luas,” menurut Prof. Lowy, “Gereja Katolik memiliki sejarah panjang dan kuat dalam membantu orang di seluruh dunia.”
Herman Endrayanto (Sumber: Devin Watkins, Vatican News)
Untuk pertama kalinya, Paus Fransiskus akan mereformasi universitas dan institut kepausan di Vatikan. Dihadapan perwakilan 22 lembaga akademik kepausan dalam audiensi pada 25 Februari 2023, yang terdiri dari mahasiswa dan profesor yang menyesaki Aula Paulus VI, Paus Fransiskus mengatakan, “Ada kebutuhan mendesak untuk memulai proses menuju sinergi yang efektif, stabil, dan organik antara lembaga akademik”.
Perlu diketahui bahwa Vatikan memiliki 22 institusi akademik yang terbagi atas 4 (empat) kategori yaitu 7 universitas, 4 fakultas, 2 athenaeum, dan 9 institut. Lembaga-lembaga akademik tersebut didirikan selama kurun tahun 1551 hingga 1981 dan 15 lembaga dipercayakan kepada lembaga Gereja. Misalnya, para Jesuit mengelola Universitas Gregoriana dan para Dominikan mengelola Universitas Angelicum.
Keberadaan institusi akademik kepausan tersebut dipantau oleh Badan Evaluasi dan Promosi Kualitas Universitas dan Fakultas Gerejawi Takhta Suci, sebuah badan yang dibentuk Paus Benediktus XVI pada tahun 2007.
Paus Fransiskus mengungkap fakta bahwa banyak pusat studi di Roma yang telah berkembang selama berabad-abad kini berisiko “membuang-buang energi yang berharga”. Situasi ini, menurut pandangan Paus Fransiskus, dapat mengancam untuk dan menghambat transmisi kegembiraan dalam belajar Injili.
Dihadapkan pada situasi tersebut, Paus Fransiskus menekankan terjadinya pengurangan sumber daya ekonomi dan manusia yang diderita lembaga-lembaga tersebut. Paus juga menekankan bagaimana pandemi Covid-19 telah memengaruhi lembaga pendidikan yang sebagian besar memiliki mahasiswa internasional.
Paus mengajak universitas dan institut kepausan untuk menghadapi kesulitan tersebut bukan dengan cara bertahan, tetapi dengan menganggapnya sebagai dorongan baru menuju masa depan yang lebih baik.
Paus memperingatkan semua yang hadir agar tidak terlalu mementingkan diri sendiri, tetapi juga mendorong mereka untuk meluncurkan reformasi dengan mempertimbangkan keberanian dan, jika perlu, perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Mari kita tidak berdebat di antara kita sendiri untuk mengambil satu siswa atau satu jam lebih,” kata Paus.
Dalam kesempatan tersebut, Paus Fransiskus menunjuk Prefek Diskateri Kebudayaan dan Pendidikan yaitu Kardinal José Tolentino de Mendonça, yang berasal dari Portugal, akan menjadi arsitek reformasi universitas dan institut kepausan tersebut.
Paus Fransiskus akan memfokuskan reformasinya pada empat tujuan: transdisipliner, penciptaan jejaring untuk menemukan jawaban konkret atas masalah kemanusiaan, kembali ke sumber kerygmatis ajaran Kristen, dan pengembangan pengalaman komunitas yang diarahkan pada “kegembiraan kebenaran.”
Paus Fransiskus mengakhiri pidatonya dengan memberikan gambaran tentang Kristus sebagai dirigen paduan suara, yang tangannya mengarahkan seluruh umat manusia dan pada saat yang sama setiap individu. Berdasarkan gambaran itu, Paus Fransiskus mendorong lembaga akademik kepausan untuk tidak bertindak sebagai solois tetapi bernyanyi sebagai paduan suara dengan memupuk harmoni.
Paus Fransiskus mencatat bahwa melalui dedikasi mereka untuk belajar, baik selama beberapa tahun atau seumur hidup, para anggota di institut kepausan telah membentuk paduan suara. Mengutip pendapat Santo John Henry Newman, bahwa paduan suara ini adalah universitas dan di situlah “pengetahuan dan perspektif yang berbeda mengekspresikan diri mereka dalam harmoni, melengkapi, mengoreksi, dan menyeimbangkan satu sama lain”.
GAMBARAN INSTITUT AKADEMIK KEPAUSAN
Dalam pertemuan tersebut, para rektor institut kepausan memperoleh kesempatan menyampaikan laporan bersama pertama mereka, yang mencakup tahun akademik 2021/2022. Evaluasi tersebut dilakukan sehubungan dengan peringatan 5 (lima) tahun Konstitusi Apostolik Paus Fransiskus, Veritatis Gaudium (2018), di mana Paus Fransiskus telah mereformasi institusi akademik kepausan. Laporan para rektor institut kepausan tersebut dapat diunduh di bawah ini.
Pada tahun akademik 2021/2022 terdapat 15.634 siswa belajar di Roma. Mereka mewakili 8% mahasiswa yang berada di Kota Abadi, termasuk yang belajar di universitas dan perguruan tinggi negeri dan swasta. Ada 2.056 profesor yang mengajar di universitas-universitas ini, artinya ada rasio profesor-mahasiswa yang sangat tinggi: rata-rata sekitar satu profesor untuk setiap 6 (enam) mahasiswa. Institusi tersebut memiliki 459 karyawan yang bekerja melayani bagian administrasi.
Lembaga-lembaga tersebut juga sangat bercorak internasional. Gambarannya sebagai berikut.
Rata-rata, ada satu siswa Italia untuk setiap delapan siswa Nonitalia, yang terakhir berasal dari 124 negara di seluruh dunia dan dari semua benua. Institusi akademik kepausan juga berafiliasi dengan 221 institusi lain di seantero dunia.
Disiplin akademik yang paling populer dipelajari yaitu Teologi (22,1% siswa), yang ditawarkan di 15 dari 22 institusi kepausan, berikutnya Filsafat (13,2%) dan Hukum Gereja (7,4%). Lembaga-lembaga tersebut juga menawarkan kursus di hampir 30 mata kuliah yang berbeda. Selama tahun akademik 2021/2022 secara keseluruhan institut akademik kepausan telah memberikan 3.085 gelar.
Herman Sunu Endrayanto (Sumber: Francesca Merlo, Vatican News dan Camille Dalmas, Aleteia)
Kemarin siang, tiba-tiba saja sebuah chat dari saudaraku Ignas Waning masuk. Ia memintaku menulis artikel untuk sebuah web, tentang pengalamanku menulis. Chat itu sejenak membuatku terperangah. Ternyata aku selama ini tidak menyadari diri sebagai seorang penulis. Aku ternyata hanya menghayati identitasku sebagai: umat Allah, suami, ayah, opa, pengusaha, rotarian (anggota rotary club), atau pegiat gereja. Tidak terlintas bahwa aku adalah penulis. Kemudian aku mencoba menarik memori yang terkait. Enam buku memang sudah kutulis, semuanya diterbitkan oleh Kanisius. Tiga buku merupakan buku filsafat, dua buku tentang gerejawi (mendapat imprimatur dan nihil obstaat), dan satu buku tentang pendidikan. Enam jurnal penelitian ilmiah telah dipublish. Dan beberapa artikel telah dimuat di surat kabar, majalah cetak, dan media online. Chat saudara Ignas membuatku mulai menelusuri sejarah penulisanku. Padahal tidak pernah bercita-cita menjadi penulis.
Keinginan untuk menulis pertama kali muncul, ketika aku sedang menyelesaikan disertasi bidang filsafat yang membahas seputar “Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow”. Penelitianku dalam disertasi itu menunjukkan bahwa selain dampak positif, ternyata ada dampak negatif serius pada konsep hirarki kebutuhan Maslow. Dampak negatif itu berupa kecenderungan untuk egois, dan menganggap pemenuhan kebutuhan yang lengkap sebagai satu-satunya jalan mencapai kebahagiaan. Kecenderungan-kecenderungan ini menyesatkan. Sejak itu aku merasa gelisah, banyak orang tidak sadar tentang dampak negatif konsep ini, termasuk aku sendiri sebelumnya. Kegelisahan itu terus muncul dan mengganggu pikiranku setiap saat. Itulah yang mendorongku menulis buku untuk memberi masukan pada masyarakat luas. Buku berjudul “Manusia Utuh” diterbitkan Kanisius tahun 2014, isinya membahas dampak-dampak konsep Maslow itu. Terbitnya buku itu, membuat kegelisahan tentang dampak negatif konsep hirarki kebutuhan lenyap. Walau aku sadar bahwa dampak buku itu terbatas, tetapi lega karena dalam keterbatasanku aku telah ambil bagian dalam mengantisipasi yang buruk.
Pengalaman aktif dalam kegiatan menggereja, memunculkan kegelisahan yang lain tentang situasi awam Katolik yang membingungkan. Untuk mengatasi kegelisahan itu, aku melakukan penelitian kepustakaan. Hasilnya, Kanisius menerbitkan “Awam Mau Kemana?” tahun 2016 lengkap dengan imprimatur dan nihil obstaat. Keprihatinan yang menggelisahkan atas berkurangnya praktik keutamaan kerendahan hati ditengah kehidupan masa ini, memicu lahirnya buku “Mungkinkah Bumi Tanpa Humus” (Kanisius, 2017). Pengalaman hidup ternyata terus menerus menyuguhkan keprihatinan dan kegelisahan baru. Perjumpaanku dengan para lansia yang bingung dan seakan kehilangan makna hidupnya, membuatku kembali melakukan studi dan menulis “Bergulat Dengan Usia”. Buku ini diterbitkan Kanisius tahun 2021. Buku “Menata Nalar Memahami Kebenaran” yang diterbitkan Kanisius tahun 2022, muncul atas kegelisahan akibat banjir informasi dunia maya masa ini. Banjir informasi dunia maya berpotensi menyesatkan orang yang belum mampu memilahnya. Kegelisahan atas fenomena gerak awam Katolik yang cenderung terkonsentrasi di seputar altar dan kurang bergerak keluar untuk menjadi “garam” dan “terang” dunia, menginisiasi terbitnya “Pergilah, Kita Diutus” (Kanisius, 2022) dengan imprimatur dan nihil obstaat. Hal yang sama juga, dengan penulisan-penulisan berupa jurnal penelitian dan artikel, setelah kurenungkan, semuanya lahir dari kegelisahan yang ada di hati. Tidak ada motivasi lain yang dominan dan mendorongku untuk menulis, selain kegelisahan. Dan kegelisahan itu lenyap setelah aku berupaya mempersembahkan tulisan yang terbatas itu.
Chat saudara Ignas membantuku memaknai semua ini. Ternyata tulisan-tulisanku lahir semata untuk menjawab kegelisahan yang muncul di dalam hati. Kegelisahan itu selalu tentang fenomena yang tidak pada tempatnya, atau butuh dibaharui. Kemudian aku berupaya menjawab kegelisahan, dengan studi tentang penyebab dan cara mengantisipasinya. Tentunya semua ini berjalan dalam keterbatasanku. Apabila kegelisahan itu berasal dari seruan Allah, yang kuyakini selalu tinggal dalam hatiku. Dan menulis adalah caraku menjawab seruanNya. Maka menulis adalah bagian dari komunikasi batinku dengan Tuhan, bagian dari doa. Terimakasih untuk saudaraku Ignas Waning yang telah membantuku memaknai hidup lebih luas.** (Dr. Hendro Setiawan, pengusaha dan penulis serta penasihat DPC ISKA Palembang)
Menurunnya jumlah siswa di sekolah-sekolah Katolik, baik yang dikelola lembaga pendidikan Katolik milik keuskupan, ordo/konggregasi, maupun awam Katolik, sudah menjadi perhatian dan perbincangan sejak tahun awal tahun 2000-an. Jadi masalah ini sudah berlangsung lama.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah Katolik di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1970-an penurunan jumlah siswa di sekolah Katolik telah terjadi.
Jurnalis Patrick McCloskey dalam bukunya The Street Stops Here (2008) mendokumentasikan keberhasilan para anak muda kulit hitam pinggiran di Rice High School di Harlem. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1938. Selama bertahun-tahun sekolah yang dikelola para bruder Kristen (Congregatio Fratrum Christianorum disingkat CFC) mampu mengatasi kesenjangan sosial dalam pencapaian pendidikan di mana seratus persen lulusannya diterima di perguruan tinggi. Ironisnya setelah tiga tahun buku itu diterbitkan, sekolah ditutup karena kekurangan finansial.
Secara keseluruhan, sekolah-sekolah Katolik Amerika tutup dengan cepat. Pada puncaknya pada pertengahan 1960-an, lebih dari 13.000 sekolah dasar dan menengah Katolik mendidik 12 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat. Tetapi pada tahun 2012, kurang dari 7.000 sekolah Katolik mendidik dua juta atau lima persen dari anak usia sekolah di Amerika Serikat.
Di masa depan kemungkinan akan membawa kontraksi lebih lanjut. Karena sekolah Katolik memiliki sejarah panjang melayani minoritas dan orang miskin, merosotnya sekolah Katolik mengurangi kemampuan Gereja Katolik AS berkontribusi untuk memajukan keadilan sosial dan kemungkinan akan mengurangi kesetaraan kesempatan memperoleh pendidikan.
Permasalahan penurunan siswa di sekolah Katolik di Amerika Serikat diangkat oleh Carol Ann MacGregor, pengajar Loyola University, New Orleans, dalam disertasi doktoralnya di bidang sosiologi yang berjudul School’s Out Forever: The Decline of Catholic Education in the United States, di Princeton University tahun 2012.
MacGregor mengupas dua pengaruh sekolah Katolik pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an di mana para akademisi mendokumentasikan dan mendiskusikan pengaurh pendidikan yang diperoleh anak-anak yang bersekolah di sekolah Katolik termasuk prestasi akademik yang baik, pencapaian yang lebih baik pada tes standar, dan tingkat kelulusan yang lebih tinggi yang di perguruan tinggi.
Pertama, para akademisi berpendapat bahwa ikatan sosial yang erat antara guru dan orang tua memungkinkan sekolah Katolik mengontrol perilaku buruk dan memperkuat karakter positif dalam diri anak-anak. Namun, menurut MacGregor, bukti ini kurang konklusif karena, tidak seperti sekolah umum, sekolah Katolik dapat mengeluarkan atau menolak menerima siswa yang kurang berprestasi secara akademis atau menunjukkan masalah perilaku.
Kedua, pengaruh sekolah Katolik yang terdokumentasi ternyata paling besar terjadi di siswa perkotaan dan minoritas. Sekolah-sekolah Katolik menampung banyak anak dari kalangan minoritas dan mampu mengangkat mereka menjadi lebih berpretasi secara akedemik maupun nonakademik.
Di berbagai daerah perkotaan, populasi hispanik mengalami peningkatan. Keberadaan pendidikan Katolik dapat menjadi sangat penting karena populasi Hispanik terus meningkat. Kebanyakan orang Hispanik setidaknya secara nominal merupakan orang Katolik, dan penelitian telah mendokumentasikan bahwa anak-anak mereka sering mengalami kegagalan secara akademis, tulis MacGregor.
Apabila sekolah Katolik di Amerika Serikat memberikan pengaruh positif, terutama bagi keluarga kelas bawah, mengapa sekolah Katolik justru mengalami penurunan yang begitu tajam. MacGregor dalam disertasinya menulis lima faktor penyebabnya.
Pertama, merosotnya jumlah suster. Secara tradisional, ordo atau konggregasi biarawati menyediakan sebagian besar staf dan guru di sekolah Katolik. Pada puncaknya, sekitar tahun 1970an, lebih dari 100.000 suster bekerja di sekolah Katolik, tetapi saat ini hanya ada sekitar 6.500 yang masih bekerja, kurang dari satu suster per sekolah Katolik. Kekurangan suster di sekolah Katolik diganti tenaga awam yang membutuhkan gaji dan tunjangan bulanan. Hal ini menyebabkan biaya operasional sekolah menjadi membengkak.
Kedua, biaya pendidikan yang semakin mahal. Pada tahun 1970an hampir tiga perempat sekolah Katolik mengenakan biaya pendidikan kurang dari $100 (setara dengan kira-kira $ 300 sekarang). Pada tahun 2010 rata-rata biaya sekolah sudah mencapai sekitar $ 4,000 untuk sekolah dasar Katolik dan $ 8,000 untuk sekolah menengah Katolik. Termasuk tambahan, biaya per siswa di tingkat dasar sudah meroket dari sekitar $ 1,500 menjadi sekitar $ 5,500.
Tidak mengherankan, banyak orang tua tidak mampu membayar biaya yang semakin mahal tersebut dan lebih sedikit yang memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Katolik.
Ketiga, mengendurnya komitmen dari kalangan Gereja Katolik. MacGregor menulis bahwa pluralisme agama adalah salah satu ciri ekologi agama yang lebih luas yang mungkin memiliki konsekuensi khusus bagi kemunduran sekolah Katolik di Amerika Serikat. Dalam sejarah Amerika Serikat, pada abad ke-18, umat Katolik menghadapi prasangka yang kuat di Amerika Serikat oleh komunitas agama lain maupun komunitas-komunitas nonreligius.
Secara berlahan-lahan, prasangka itu hilang. Beberapa cendekiawan melihat bahwa, karena umat Katolik Amerika tidak lagi menghadapi prasangka yang kuat, Gereja Katolik ingin menarik diri dari pendidikan dan mengerahkan sumber daya yang terbatas untuk pengajaran Katolisisme yang ketat. Hal inilah yang menyebabkan sekolah-sekolah Katolik mengalami kemunduran.
Keempat, krisis pelecahan seksual. Meningkatnya kasus pelecehan seksual di berbagai keuskupan di Amerika Serikat menyebabkan subsidi untuk sekolah Katolik menjadi diperas. MacGregor memaparkan data yang menunjukkan bahwa keuskupan dengan jumlah insiden pelecehan yang besar memiliki lebih banyak penutupan sekolah Katolik dari tahun 2000 hingga tahun 2010.
Kelima, kurang fokus mendukung mobilitas ke atas. Pendidikan menjadi sarana mobilitas vertikal, baik dari sisi ekonomi maupun sosial-budaya. Akan tetapi hal ini kurang terjadi pada sekolah Katolik di Amerika Serikat.
Beberapa akademisi yang mengkritisi masalah ini menyarankan Gereja Katolik dapat berpaling dari memberikan dukungan kepada imigran Latino untuk asimilasi dan mobilitas ke atas kepada umat Katolik Irlandia dan Italia.
McGregor dalam disertasinya mencontohkan Gugus Tugas Notre Dame tentang Partisipasi Keluarga dan Anak-anak Latino (The Notre Dame Task Force on the Participation of Latino Children and Families in Catholic Schools) yang pada tahun 2009 menemukan bahwa keuskupan dengan jumlah kursi kelas kosong terbesar terletak di sekitar kota dengan populasi Hispanik terbesar. Selain itu, sejak tahun 1990, sekolah-sekolah Katolik telah melayani lebih sedikit siswa Afrika-Amerika dan lebih banyak lagi yang tutup di wilayah kulit hitam.
Menghadapi persoalan-persoalan di atas, MacGregor mengingatkan bahwa semua orang Amerika yang peduli dengan pendidikan harus menyadari bahwa hilangnya sekolah Katolik membuat banyak orang tua dan masyarakat memiliki lebih sedikit pilihan. Penutupan sekolah umum yang berkinerja buruk di daerah-daerah sulit terkadang menjadi peluang untuk meningkatkan prestasi akademis siswa di tempat lain.
Berbeda halnya dengan sekolah-sekolah Katolik, tulis MacGregor, mereka biasanya telah melakukan tugas yang mulia dalam upayanya meningkatkan prestasi siswa, terutama bagi kaum minoritas perkotaan, sehingga apabila sekolah-sekolah Katolik ditutup, penutupan itu akan merugikan keluarga dan lingkungan sekitar. Seringkali, sekolah umum yang berdekatan harus berjuang untuk mendidik anak-anak lainnya yang juga terpinggirkan dan juga mengalami kekurangan dana.
MacGregor mengusulkan dua hal untuk memperkuat sekolah Katolik.
Pertama, membuat sekolah Katolik lebih terjangkau. Di sini peran donatur dan para pendukung sekolah Katolik dapat bekerja untuk menciptakan model keuangan yang memungkinkan keluarga-keluarga mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Katolik bahkan jika mereka tidak mampu membayar uang sekolahnya sekalipun. MacGregor mencontohkan jaringan sekolah Cristo Rey, sekolah milik para Jesuit, yang menggunakan jaringan organisasi bisnis dan nirlaba untuk membantu menutupi biaya sekolah siswa yang kurang mampu.
Kedua, voucher umum yang digunakan untuk pendidikan. Inisiatif voucher ini memang kontroversial dan hanya diterapkan di beberapa keuskupan. Namun menurut MacGregor, penelitian tentang penggunaan voucher ini menunjukkan bahwa orang tua akan menggunakan voucher tersebut di sekolah Katolik yang relatif murah daripada membayar biaya yang lebih mahal di sekolah swasta lainnya.
OBROLAN tidak harus mengangkat topik yang berat dan ilmiah. Obrolan santai sebaiknya tidak luput dari perhatian dan pertimbangkan kita. Obrolan santai sebaiknya terus dilanjutkan.
Obrolan santai, Sabtu (12 Maret 2022) mengetengahkan banyak topik yang terlintas di kepala. Obrolan santai di halaman dalam SMA Xaverius 1 Palembang mengutarakan banyak hal: profesionalitas, kinerja, kreativitas, inisiatif, transformasi, transparansi, dan sebagainya.
Dalam sharingnya salah satu topik yang disampaikan oleh Bpk Yoseph Handoko, berkaitan dengan tugas profesionalnya tentang penting dan perlunya prestasi. Tunjukan prestasi dalam tugas keseharian kita agar kita tetap eksis.
Agar prestasi tetap eksis dalam bidang usaha dan karya apapun, maka perlu usaha yang serius untuk terus menerus belajar. Media belajar berbasis internet sangat terbuka lebar: gratis atau berbayar.
Mari, kita semua tetap diundang dalam pertemuan atau rapat-rapat yang akan datang. Kondisi endemi ini memotivasi kembali kita dalam pertemuan tatap muka. ISKA DPC Palembang tetap eksis. ** (Ignas)
TULISAN ini semata dalam rangka menjawab permintaan sahabat terkasihku, Bpk. Ignas Waning. Peran, keberadaan, dan kontribusi lembaga intelektual Katolik ditengah situasi Gereja dan masyarakat dewasa ini, sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Rasanya tidak ada lagi pihak yang meragukan ini. Dunia intelektual adalah lahan yang perlu digarami, mengingat produk-produk intelektual kuat mempengaruhi cara hidup manusia. Nilai-nilai agama perlu dihadirkan dalam proses-proses intelektualitas. Ini tentu juga menjadi harapan atas kontribusi lembaga seperti ISKA Palembang.
Permasalahan klasik suatu organisasi, umumnya terletak pada manajemen dan kepemimpinannya. Masalah kebanyakan muncul dari dalam, bukan dari luar. Organisasi kebanyakan busuk dari dalam, bukan dari luar. Yang baik bahkan mampu bertumbuh ditengah badai tekanan luar. Karena itu perlu dibahas beberapa hal terkait:
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang baik utamanya nampak dalam komitmen menegakkan visi dan nilai-nilai organisasi. Tanpa visi, organisasi seakan berjalan tanpa arah, sesuka pemimpin, atau arahnya hanya disesuaikan kesepakatan anggota-anggotanya belaka. Padahal setiap organisasi dibetuk dengan visi tertentu yang dituangkan dalam AD/ART/Statuta, dll. Nilai-nilai organisasi Katolik mengacu pada nilai-nilai katolisitas.
Perencanaan
Perencanaan adalah sarana untuk menjabarkan visi pada tindakan konkrit sesuai dengan waktu, situasi, dll.
Organisasi
Organisasi diperlukan untuk “menggerakkan”, “memotivasi”, “mengarahkan”, dll, semua anggota dan stake holder dalam rangka mencapai apa yang direncanakannya. Ini adalah tantangan utama setiap lembaga sosial, yang tidak punya ikatan yang untuk memaksa gerak yang lain. Semua yang terlibat adalah relawan yang tidak dapat diperintah begitu saja. Dengan demikian kemampuan kepemimpinan dan organisasi untuk “merangkul”, “memotivasi”, dll, banyak anggota dan stake holder yang beragam menjadi tuntutan utama. Tujuan hanya dapat dicapai dengan talenta yang beragam. Kegagalan dari hal ini membuat organisasi hanya berjalan dengan type anggota yang “seragam” (punya pekerjaan sama, hobi sama, dll). Keseragaman membuat sulit bergerak. Padahal kekuatan organisasi sosial terletak pada keberagamannya. Efektifitas kepemimpinan terletak pada kemampuan merangkul yang lebih luas. Keberagaman yang saling melengkapi adalah motor organisasi. Sinode para Uskup 2021-2023, mengingatkan perlunya mengupayakan kemampuan “berjalan bersama” bahkan dengan “yang berbeda”. Gereja dan lembaga-lembaganya pun dituntut mampu “bergerak keluar” (Evangelii Gaudium). Yang sempit dan tertutup tidak produktif.
Kontrol/Evaluasi
Manusia tidak pernah sempurna, karena itu tidak ada organisasi yang tidak membutuhkan evaluasi/kontrol. Masalah selalu ada dalam dinamika organisasi. Evaluasi adalah daya pembaharuan atas dampak permasalahan. Kelemahan organisasi sosial keagamaan seringkali justru ada pada sisi ini. Jargon “ada yang mau menjabat saja sudah syukur”, membuat evaluasi tidak jalan. Ini membuat banyak organisasi “hidup segan, mati tak mau”. Ini kontra produktif dengan visi organisasi. Bahkan juga tidak sesuai dengan nilai-nilai agama katolik. Pekerja memang sedikit, tapi bukankan Tuhan selalu hadir? Lembaga yang lebih tinggi dan Gereja lokal, seringkali membiarkan saja situasi-situasi semacam ini. Cukup bicara yang baik dan indah, disetiap momen-momen pelantikan. Kemudian bungkam diantara momen-momen itu.
Pengambilan keputusan
Kalau evaluasi saja tidak dilakukan, darimana dapat mengambil keputusan yang penting?
KEPENGURUSAN DPC ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) Kota Jambi telah dibentuk. Pelantikan secara online (Minggu, 6 Maret 2022).
Ketua dan Sekjen ISKA Pusat, Bapak Hargo dan Bapak Joko melantik para pengurus ISKA Kota Jambi via zoom.
Kegiatan rekoleksi dan pelantikan pengurus DPC ISKA Kota Jambi yang dikemas dalam tema, “Panggilan dan Perutusan Ormas Katolik Jambi yang Holistik”.
Pantas diapresiasi dengan terbentuknya kepengurusan DPC ISKA Kota Jambi. Pengembangan ormas ISKA di Kota Jambi sangat membantu dan saling bekerja sama dengan DPC ISKA Kota Palembang yang telah dibentuk sedikit lebih awal.
Terus bersinergi
DPC Kota Jambi dan DPC Kota Palembang (serta tetap menanti terbentuknya DPC Kota Bengkulu) sangat membantu untuk membangun kerja sama dan terus bersinergi di wilayah teritorial Keuskupan Agung Palembang (KAPal).
Ketua DPC ISKA Kota Palembang, Dr Heri Setiawan menginfokan bahwa DPC Kota Jambi menjadi peserta munas (Musyawarah Nasional) yang akan di selenggarakan di Nusa Tenggara Timur pada 27-29 Mei 2022.
Dengan apa yang kita miliki, “apa yang bisa kita sinergikan untuk bangsa dan negara serta gereja dengan kearifan lokal”, tanya Bapak Heri bagi pengurus dan anggota DPC ISKA Kota Palembang. *** (Ignas)
Mungkinkah Katedral St. Sophia di ibukota Ukraina, Kyiv, menjadi target militer Rusia? Desas-desus tentang kemungkinan serangan terhadap katedral yang berdiri pada abad ke-11, yang telah lama diubah menjadi museum, telah memperdalam keputusasaan penduduk Ukraina yang sudah sangat menderita.
Namun serangan yang diantisipasi telah memperjelas apa yang dikatakan Uskup Agung Sviatoslav Shevchuk, pemimpin Gereja Katolik Yunani Ukraina, kepada wartawan pada 8 Februari 2022, dua minggu sebelum invasi Rusia: bahwa “di Ukraina, tidak ada perang agama.”
Katedral St. Sophia jarang digunakan untuk acara-acara liturgia. Tetapi katedral tersebut dianggap sebagai rumah oleh orang Katolik Ortodoks dan Katolik Roma di Ukraina. Katedral tersebut dibangun pada masa Yaroslav I (980-1054) menjadi penguasa otoritas Kyiv.
Katedral St. Sophia memiliki makna simbolis bagi penduduk Kyiv, yang percaya bahwa kota itu akan tetap berdiri sepanjang katedral itu juga berdiri.
Bangunan itu memiliki sejarah yang bergejolak. Katedral tersebut menjadi milik Gereja Katolik Yunani Ukraina setelah Persatuan Brest pada tahun 1595, kemudian diklaim oleh Metropolitan Ortodoks Petro Mohyla pada tahun 1633. Asal tahu saja, Persatuan Brest merupakan perjanjian pada tahun 1596 yang menyatukan jutaan orang Katolik Ortodoks Ukraina dan Belarusia dengan Gereja Katolik Roma yang hidup di bawah kekuasaan Polandia di Lituania.
Setelah revolusi tahun 1917, Uni Soviet berniat menghancurkan katedral, tetapi niat itu digagalkan oleh para ilmuwan dan sejarahwan. Pada tahun 1934, pemerintah Uni Soviet menyitanya dan mengubahnya mennjadi museum.
Setelah kemerdekaan Ukraina pada tahun 1991, Katedral St. Sophia diklaim baik oleh Gereja Ortodoks di Ukraina dan Gereja Katolik Yunani Ukraina. Di sanalah Metropolitan Epiphanius, pemimpin Gereja Ortodoks Ukraina yang baru dilantik, merayakan awal pelayanannya pada 3 Februari 2019.
Ukraina telah lama menjadi medan konflik ekumenis. Dari seluruh populasi Ukraina, pemeluk Gereja Ortodoks mencapai 44 juta orang. Umat Katolik menjadi minoritas di Ukraina.
Gereja Ortodoks terdiri dari berbagai bangsa yang terkait dengan wilayah tersebut, semuanya setara dalam martabat. Tetapi Patriarkat Konstantinopel menjalankan semacam “keutamaan”, yang bersumber dari peran utamanya dalam suksesi Gereja-Gereja Ortodoks, untuk menindaklanjuti permintaan dari pemerintah Ukraina akan hadirnya sebuah Gereja nasional yang diakui. Proposal itu dibuat oleh Petro Poroshenko, presiden Ukraina (2014-2019).
Pada 2019, Bartholomew I, Patriark Ekumenis Konstantinopel, memberikan otosefali (otoritas otonom) kepada Gereja Ortodoks Ukraina (Orthodox Church of Ukraine, OCU), mencabut dekrit patriarkat yang sama yang menetapkan wilayah Ukraina masuk ke wilayah Patriarkat Moskow.
Bagi Patriarkat Moskow, keputusan tersebut sama saja dengan tindakan memicu konflik, yang menyebabkan putusnya hubungan dengan Konstantinopel. Patriarkat juga menarik diri dari meja ekumenis yang diketuai bersama oleh Konstantinopel, dengan mengatakan bahwa keputusan itu, dalam praktiknya, merupakan invasi wilayah kanonik.
Tetapi selain Patriarkat Moskow, ada dua realitas Ortodoks lainnya di Ukraina: Gereja Ortodoks Rusia-Patriarkat Kyiv, yang kemudian bergabung dengan OCU, dan Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Moskow , yang, terlepas dari namanya, adalah independen dari Patriarkat Moskow, meskipun terasa sepenuhnya seperti Gereja Rusia.
Oleh karena itu, Gereja Ortodoks di Ukraina sangat kompleks dan ketegangan terus berlangsung.
Gereja Katolik Yunani Ukraina, di sisi lain, harus dibangun kembali setelah praktis diberantas dengan apa yang disebut sinode semu Lviv pada tahun 1946. Sinode tersebut diatur oleh otoritas sekuler. Terlebih lagi hampir setahun sebelum penyelenggaran pertemuan tersebut, pada malam 11-12 April 1945, Uskup Metropolitan Josyf Slipy, ditangkap.
Sementara umat Katolik Yunani Ukraina yang diaspora tetap mempertahankan identitasnya, mendirikan Gereja yang universal, dan berhasil bangkit setelah runtuhnya komunisme.
Gereja Katolik Yunani Ukraina adalah Gereja sui iuris terbesar yang terjalin dengan Gereja Katolik Roma. Gereja ini memiliki uskup agung, yang setara dengan “paus” bagi umatnya, dan ini adalah Gereja yang b global, dengan kehadirannya dan hierarki di empat benua.
Paus Fransiskus sering berbicara tentang “ekumenisme darah.” Istilah tersebut disampaikan oleh Paus Fransiskus di Bulgaria pada 5 Mei 2019, di mana Paus Fransiskus mengatakan bahwa umat Katolik dan Ortodoks dipersatukan oleh darah para martir dan orang-orang Kristen yang terus menderita demi iman bahkan sampai hari ini. Dalam kasus Ukraina, ada “ekumenisme rumah sakit lapangan”, yang diekspresikan dalam Dewan Gereja dan Organisasi Keagamaan Ukraina (Ukrainian Council of Churches and Religious Organizations, UCCRO).
Lahir pada tahun 1996, dewan tersebut mewakili 95% komunitas agama di Ukraina dan memainkan peran penting setelah “Revolusi Martabat” Ukraina pada tahun 2014 tetap dekat dengan orang-orang dan senantiasa membangun saluran dialog antar agama ketika denominasi Kristen terpecah.
Untuk alasan ini, Uskup Shevchuk sangat menekankan: “Tidak ada perang antar agama di Ukraina. Bahkan Gereja Ortodoks tidak setuju terhadap anggapan tentang perang agama. Sebaliknya, agama-agama di Ukraina berkolaborasi dan melakukan segala yang mungkin untuk menjamin perdamaian agama, serta membantu penduduk.”
Uskup Agung Shevchuk menjelaskan tentang komitmennya terhadap empat pilar yaitu “doa, solidaritas, pewartaan harapan, dan bekerja untuk konsolidasi rakyat.”
Kesatuan Gereja dalam membela bangsa terlihat dari sebuah peristiwa pada 24 Februari 2022, hari pertama invasi. Metropolitan Onufriy, kepala Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Moskow merilis pernyataan mengejutkan, di mana dia mengatakan: “Mempertahankan kedaulatan dan integritas Ukraina, kami memohon kepada Presiden Rusia dan meminta Anda untuk segera menghentikan perang saudara.”
“Orang-orang Ukraina dan Rusia keluar dari kolam pembaptisan Dnieper, dan perang antara orang-orang ini adalah pengulangan dosa Kain, yang membunuh saudaranya sendiri karena iri. Perang seperti itu tidak memiliki pembenaran bagi Tuhan atau manusia.”
Pada 28 Februari 2022, sinode dari Gereja yang sama menyampaikan seruan berikut kepada Patriark Moskow Kirill: “Yang Mulia! Kami meminta Anda untuk mengintensifkan doa Anda untuk orang-orang Ukraina yang telah lama menderita, untuk mengucapkan kata-kata sebagai pimpinan hirarki tentang penghentian pertumpahan darah di tanah Ukraina, dan untuk menyerukan kepada pimpinan Federasi Rusia untuk segera menghentikan permusuhan yang sudah mengancam untuk berubah menjadi Perang Dunia.”
Pada tanggal 2 Maret 2022, klerus dari keuskupan Ivano-Frankivsk mengumumkan bahwa mereka akan berhenti memperingati Patriark Kirill selama perayaan Liturgi. Tindakan tersebut menandakan bahwa otoritas Patriark Kirill tidak lagi diakui.
Patriark Moskow harus membayar mahal dengan sikapnya karena tidak secara jelas mengutuk invasi Rusia.
Dalam sebuah pernyataan pada 24 Februari 2022, hari pertama serangan itu, Patriark Kirill menekankan bahwa dia adalah “Patriark seluruh Rusia dan primat Gereja yang kawanannya berlokasi di Rusia, Ukraina, dan negara-negara lain” dan menyerukan “pada semua pihak dalam konflik untuk melakukan segala kemungkinan untuk menghindari korban sipil.”
Dia mengulangi bahwa “orang-orang Rusia dan Ukraina memiliki sejarah yang sama selama berabad-abad yang berasal dari Pembaptisan Rus oleh St. Vladimir.”
“Saya percaya bahwa kedekatan yang diberikan Tuhan ini akan membantu mengatasi perpecahan dan ketidaksepakatan yang muncul yang menyebabkan konflik saat ini,” katanya.
Pernyataan itu tidak termasuk kecaman atas agresi Rusia tetapi tampaknya menegaskan kembali keyakinan bahwa Ukraina adalah wilayah kanonik Rusia.
Posisi Patriak Kirill menyebabkan posisinya terisolir dalam lingkup Gereja Ortodoks. Gereja Ortodoks Serbia, yang secara tradisional adalah sahabat Moskow, mengatakan pada 28 Februari 2022 bahwa mereka mengirim bantuan ke Gereja yang dipimpin oleh Metropolitan Onufriy. Sikap yang bermakna ini memang tidak memutus jembatan persahabatan tradisional, tetapi tetap mencolok.
Sementara itu Patriark Daniel dari Rumania secara tegas mendefinisikan konflik di Ukraina sebagai “perang yang diluncurkan oleh Rusia melawan negara yang berdaulat dan merdeka.”
Patriark Ilia dari Georgia menulis pada 24 Februari 2022: “Berdasarkan pengalaman pahit Georgia, kami tahu betapa pentingnya integritas teritorial negara itu. Itulah sebabnya kami menyaksikan situasi tegang di Ukraina dengan kesedihan. Kami mencatat bahwa peristiwa kemarin dan hari ini sudah dalam bahaya pertumpahan darah yang serius, meskipun kemungkinan untuk mengatur situasi masih ada. Ini juga merupakan kesempatan untuk menjaga perdamaian universal.”
Para uskup Gereja Ortodoks Finlandia mengecam keras invasi Rusia. Mereka berkata: “Tidak ada pembenaran untuk perang. Rakyat Ukraina harus didukung dengan segala cara: baik secara finansial dan secara spiritual melalui doa.” Mereka juga mengimbau “kepada para uskup dan imam Patriarkat Moskow untuk mempromosikan perdamaian.”
Uskup Agung Ieronymos dari Athena mengungkapkan keterkejutannya, dengan mengatakan bahwa “pikiran dan doanya ditujukan kepada saudara-saudara kita di Ukraina, terutama kepada anak-anak dan orang tua yang mengalami kengerian perang, dan tentu saja kepada ribuan saudara senegara kita di negara ini.”
Namun, reaksi yang paling mengejutkan datang dari Rusia: 233 imam dan diakon Gereja Ortodoks Rusia mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “perang saudara” dan meminta gencatan senjata segera.
Mereka mengajukan permohonan setelah Minggu Penghakiman Terakhir dan dalam seminggu sebelum Minggu Pengampunan, dua hari Minggu sebelum Prapaskah dalam kalender liturgi Gereja Timur.
Mereka mengatakan mereka berharap bahwa “semua orang, baik Rusia dan Ukraina, akan kembali tanpa terluka ke keluarga mereka.” Mengingat “Minggu Pengampunan”, mereka menekankan bahwa “pintu surga akan terbuka bagi semua orang, juga bagi mereka yang telah melakukan dosa berat,” tetapi “tidak ada alternatif selain rekonsiliasi timbal balik.”
Di antara yang pertama mengutuk serangan itu adalah Bartholomew I dari Konstantinopel. Dengan memberikan otosefali Patriark Ekumenis telah mengakui Ukraina sebagai negara dengan haknya sendiri, tindakan yang dihargai oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Pada Agustus 2021, Patriark Bartholomew I menjadi tamu istimewa pada seremoni 30 tahun kemerdekaan Ukraina.
Tidak mengherankan, Zelensky menelepon Patriark Bartholomew untuk berterima kasih atas kata-katanya. “Warga Ukraina merasakan dukungan spiritual dan kekuatan doa Anda,” cuit presiden di akun Twitter-nya, “Kami berharap perdamaian secepat mungkin.”
Oleh karena itu, tampaknya terjadi pergeseran di lingkup Gereja Ortodoks menuju Kyiv dan menjauh dari Moskow. Ketegangan yang terjadi sebelumnya dicairkan oleh keinginan bersama dari suatu bangsa dan oleh gagasan untuk berbagi nasib yang sama. Bagaimanapun juga, Gereja Ortodoks berada di balik negara Tirai Besi: mereka yang telah menderita penganiayaan agama dan tidak ingin kembali ke pengalaman itu. Mereka telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan karena itu tidak dapat menerima bahwa hal itu dipertanyakan.
Gereja Katolik Yunani Ukraina tetap aktif di balik layar. Mereka merayakan dengan Ritus Bizantium dan mengakui Patriarkat Konstantinopel sebagai Gereja Induknya, tetapi bersatu dengan Roma dan setia kepada paus. Peristiwa “Revolusi Martabat” telah menjadi jembatan antara pengakuan Kristen. Tapi itu juga merupakan penjaga identitas Ukraina, yang tetap hidup bahkan dalam situasi diaspora.
Perlu kita ketahui bahwa Presiden Zelensky, pada 8 Februari 2020, saat mengunjungi Paus Fransiskus, dia mengajukan dua hal: permintaan kepada Takhta Suci untuk menengahi perdamaian di Ukraina dan pertanyaan tentang beatifikasi Metropolitan Andrey Sheptytsky (1865-1944), orang yang pertama mengembangkan gagasan Gereja Katolik Yunani Ukraina global, yang lepas pada batas negara.
Sebelumnya, pada tahun 2015, Paus Fransiskus mengakui “kebajikan heroik” uskup metropolitan tersebut, sebuah langkah signifikan menuju beatifikasi. Gereja Katolik Yunani mengakui kesucian mendiang uskup tersebut. Presiden Zelensky sendiri menggarisbawahi pentingnya beatifikasi dalam suatu percakapan via telepon dengan Paus Fransiskus pada 30 Juni 2021. Ia juga menegaskan kembali undangan kepada Paus Fransisku untuk mengunjungi Ukraina.
Komunitas agama, pada akhirnya, sangat penting di Ukraina. Untuk alasan ini, gagasan bahwa Katedral St. Sophia dapat menjadi sasaran serangan militer telah menyatukan kembali jiwa Kristen di negara itu.
Sementara itu, Gereja Ortodoks tampaknya semakin mengisolasi Patriarkat Moskow. Ada risiko bahwa perpecahan Gereja Ortodoks tidak lagi hanya menyangkut pemberian otosefali kepada Gereja lokal. Sebaliknya, perpecahan baru bisa muncul karena masalah politik. Dan siapa pun yang menempatkan pilihan politik di depan mereka akan menghadapi risiko isolasi itu.
Herman Endrayanto (Sumber: Andrea Gagliarducci, Catholic News Agency)
Paus Fransiskus mengutuk invasi Rusia ke Ukraina dan menyatakan solidaritasnya dengan negara itu pada hari Minggu (6 Maret 2022).
“Sungai darah dan air mata mengalir di Ukraina,” dia memulai pidato Angelus-nya. “Ini bukan hanya operasi militer, tetapi perang, yang menabur kematian, kehancuran, dan kesengsaraan.”
Paus berusia 85 tahun berbicara kepada orang banyak yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus di Roma setelah Angelus, doa Maria, pada 6 Maret 2022. Di bawah sinar matahari yang cerah, umat Katolik berkumpul untuk berdoa bersama Paus, termasuk banyak orang yang berasal dari Ukraina, yang mengangkat bendera biru dan kuning negara mereka untuk dilihat semua orang yang hadir.
Pidatonya menggemakan kata-kata Uskup Agung Sviatoslav Shevchuk, pemimpin Gereja Katolik Yunani Ukraina. Dua hari setelah Rusia memulai invasi skala penuh ke Ukraina, pada 26 Februari 2022, Uskup Agung Shevchuk mengutip pendahulunya, mendiang Kardinal Josyf Slipyj, yang menggambarkan “gunung mayat dan sungai darah” setelah Rusia menyerang Ukraina.
Paus Fransiskus menyatakan keinginannya untuk membantu rakyat Ukraina mencapai perdamaian.
“Takhta Suci siap untuk melakukan segalanya, untuk menempatkan dirinya dalam pelayanan perdamaian ini,” katanya, mengumumkan bahwa baru-baru ini dua kardinal melakukan lawatan ke Ukraina “untuk melayani rakyat, untuk membantu.”
Paus menyebut kedua kardinal itu sebagai almoner kepausan yaitu Kardinal Konrad Krajewski dan Kardinal Michael Czerny, prefek interim untuk Promosi Pembangunan Manusia Seutuhnya.
“Kehadiran dua kardinal di sana tidak hanya sebagai tanda kehadiran Paus, tetapi juga semua orang Katolik yang ingin lebih dekat dan berkata: “Perang itu gila! Tolong hentikan! Lihat kekejaman ini!’” seru Paus Fransiskus.
Paus mengulangi seruannya pada minggu sebelumnya bagi suatu koridor kemanusiaan bantuan kepada Ukraina.
“Jumlah korban semakin bertambah, begitu pula orang-orang yang mengungsi, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Kebutuhan akan bantuan kemanusiaan di negara yang dirundung masalah itu tumbuh secara dramatis dari jam ke jam,” katanya.
“Saya mengimbau dengan sepenuh hati agar koridor kemanusiaan benar-benar diamankan, dan bantuan dijamin dan akses difasilitasi ke daerah-daerah yang terkepung,” tambahnya, “untuk menawarkan bantuan penting kepada saudara-saudari kita yang tertindas oleh bom dan ketakutan. ”
Paus berterima kasih kepada dua kelompok khusus yang membantu rakyat Ukraina yaitu mereka yang menyambut pengungsi dan jurnalis lokal.
“Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para jurnalis yang mempertaruhkan nyawa untuk memberikan informasi,” ungkapnya. “Terima kasih, saudara-saudara, untuk layanan ini! Sebuah layanan yang memungkinkan kita untuk dekat dengan tragedi kemanusiaan itu dan memungkinkan kita untuk menilai kekejaman perang.”
Meskipun dia tidak menyebutkan wartawan atau negara tertentu yang membantu pengungsi, beberapa waktu yang lalu, Paus Fransiskus berterima kasih kepada orang-orang Polandia atas kemurahan hati mereka dalam menyambut mereka yang melarikan diri dari Ukraina.
Sejak awal invasi, Paus Fransiskus telah menyerukan perdamaian. Baru-baru ini Paus mendesak umat Katolik di seluruh dunia untuk berdoa dan berpuasa bagi Ukraina pada perayaan Rabu Abu, yang menandai awal Prapaskah, 2 Maret 2022.
Pada 25 Februari, Paus mengunjungi Kedutaan Besar Rusia untuk Takhta Suci, yang terletak dekat Vatikan. Penulis Katolik George Weigel mengatakan kepada Catholic World Report bahwa Paus berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin selama kunjungan tersebut. Pada hari yang sama, dia menelepon Uskup Agung Shevchuk untuk menyatakan dukungannya bagi perdamaian.
Hari berikutnya, Paus Fransiskus mengumumkan keprihatinannya atas situasi di Ukraina melalui pembicaraan via telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Setelah berdoa Angelus, Paus menghimbau kembali untuk menghentikan peperangan.
Paus menyatakan, “Di atas segalanya, saya mohon agar serangan bersenjata dihentikan dan mengutamakan negosiasi serta akal sehat. Dan sekali lagi hukum internasional harus dihormati!”.
Paus mengajak umat Katolik yang berkumpul berdoa bersamanya mendaraskan doa Salam Maria.
“Mari kita berdoa bersama, sebagai saudara dan saudari, kepada Bunda Maria, Ratu Ukraina,” katanya.
Herman Endrayanto (Sumber: Katie Yoder, Catholic News Agency)